HITAM DAN PUTIH
Aya mempercepat langkahnya, untuk
segera sampai didepan pintu itu. pintu kamar Niel. Ia mengetuk pintu itu
berkali kali namun tetap tak ada respon. Mungkin kamar itu memang kosong atau
sengaja terlihat kosong. Aya mendesah kecewa, Ia hanya ingin bertanya tentang
buku yang sedang dipegangnya saat ini. cerita tentang seorang pangeran
kegelapan yang penuh dendam. Entah Niel terinpirasi oleh tokoh cerita itu atau
tidak. Sebab bukan itu yang menjadi topik pertanyaannya. Melainkan tentang
siapa yang mengarangnya.
Akhirnya Aya membalikkan badan.
Punggungnya ia biarkan bersandar di daun pintu itu. secara otomatis tubuhnya
merosot kebawah, merasakan semua persendiannya yang lemas. Aya teduduk, tidak
peduli pantatnya bergesekan dengan dinginnya marmer malam itu. ia lalu membuka
kembali buku yang dipegangnya sejak tadi, tepat pada lembar yang mengisahkan
saat Putri Cahaya memohon kepada Pangeran Kegelapan untuk menghentikan usaha
balas dendamnya. Aya tersenyum memandangi gambar sosok Putri Cahaya. Sosok yang
sama persis seperti yang dilihatnya pada cerita ‘Melati yang Bersinar’. Ya,
sosok itu mirip dengan ibunya. Sedangkan Pangeran kegelapan hanya terlihat
punggungnya saja. sosok yang digambarkan penuh kegelapan hingga tak pernah
memperlihatkan wajah aslinya. Melihat gambar itu, Aya teringat tentang kisahnya
sendiri saat bekomunikasi dengan Niel. ia hanya dapat berbicara dengan punggung
pria itu tanpa pernah saling bertatap muka. Sekilas punggung itu memang seperti
milik Niel.
Aya lalu menutup buku itu dan
membalik sampul belakangnya. Lagi lagi tertera nama pengarang yang sama. C.
Sinensis. Nama asing namun sepertinya tidak asing ditelinganya. Ia seperti
pernah mendengarnya atau bahkan mungkin pernah mengucapkannya. Tapi dimana? Aya
menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Mungkin memori otaknya sedikit
terganggu sebab terlalu memikirkan informasi yang saling bertolak belakang
secara bersamaan. Tentang 2 orang ayah dan anak, tentang keburukan dan kebaikan
mereka. Entahlah. Dan siapapun pengarang itu, yang pasti dia mengenal ibunya.
Tidak mungkin gambar yang begitu serupa itu disebut kebetulan. Orang itu memang
sengaja menggambar ibunya dan Aya ingin menanyakannya pada Niel. Siapa orang
itu dan apakah ia mengenalnya. Sebab ia juga melihat gambar yang serupa dengan
pengarang yang sama walau dengan judul yang berbeda.
Niel pasti juga menyadarinya dan Aya ingin memastikannya. Tapi sepertinya
percuma, mengingat faktor komunikasi mereka yang buruk dan Aya menghela
napasnya menyadari hal itu. ia kembali merenung, ‘Mungkin jalan yang ia lalui
akan sulit namun bukan berarti jalan itu tidak bisa dilalui kan’. Aya tersenyum
memotivasi dirinya sendiri.
# # #
“Selamat pagi, sepertinya sudah lama
sekali kita tidak makan bersama seperti ini” kelakar Tuan Cho, tidak lama
setelah duduk di kursinya.
“Kau ini berlebihan. Baru beberapa
hari saja, kau sudah bilang sangat lama. Lagipula masih ada yang kurang, Chand
dan Jane tidak ada bersama kita” sahut
istrinya menimpali. Raut wajah cantik itu berubah menjadi kesedihan.
“Oh ya, apa yang dikatakan Dokter
Tante. Kemarin, Kak Chand terlihat sangat baik. Dia pasti akan segera sembuh dan
cepat kembali ke rumah ini” hibur Aya, ia tak ingin melihat seorang ibu
terlarut dalam kesedihan.
“Kau benar Aya. Dokter David bahkan
mengatakan ini merupakan keajaiban. Chand sangat sehat bahkan bisa dibilang
kondisinya sudah seperti orang normal. Tubuhnya menerima donor dengan sangat
baik, tidak ada penolakan sama sekali. Sepertinya, Niel memang sengaja
diciptakan Tuhan untuk kesembuhan Chand. Jika Niel tidak ada, aku tidak tahu apa yang
akan terjadi”. Mendengar kalimat itu, Tuan Cho reflek melirik kearah istrinya
dan Aya menyadari hal itu. terlihat seperti tatapan keterkejutan. “Ngomong
ngomong, dimana Niel. Aku juga tidak melihatnya tadi malam, apa dia belum
pulang. Padahal kemarin aku masih melihatnya di rumah sakit bersama,,,”. Tuan
Cho berdehem, memperingatkan istrinya untuk menghentikan ucapannya. Aya kembali
memperhatikannya. Pria itu seperti ingin menyembunyikan sesuatu.
“Entahlah. mungkin Kak Niel memang
belum pulang. Saat fajar tadi, aku juga tidak melihatnya padahal biasanya ia
sudah menyelesaikan satu putaran mengelilingi rumah ini” sahut Aya, diiringi
dengan tawa khasnya. Mengingat betapa hebatnya Niel yang mampu mengelilingi rumah
itu. sebab Aya membandingkan luas rumah itu seperti mengelingi satu kompleks perumahan
dan hampir tiga kali luas lapangan sepak bola. Padahal maksud sebenarnya, ia
hanya ingin membantu Nyonya Cho agar tidak ‘mati kutu’ akibat peringatan
suaminya. Setidaknya ia sudah dapat menduga apa saja yang Tuan Cho ingin
rahasiakan padanya dan pada semua orang.
Kini giliran Tuan Cho yang
memperhatikan gadis itu. ia heran melihat sikapnya yang masih seperti biasanya.
Setelah mendapat ancaman, setidaknya gadis itu punya sedikit rasa sungkan
terhadapnya atau bahkan rasa takut. Tapi tidak, gadis itu seperti tak memiliki
rasa takut terhadap apapun. hidupnya seakan hanya diisi dengan kebahagian dan
itu artinya, sesuatu yang tak menguntungkan untuknya mungkin saja terjadi.
Tak berapa lama, beberapa pelayan
datang membawa suguhan paling istimewa di rumah itu. tiga buah nampan yang
masing masing berisi sebuah cangkir berlapis batu giok dan sebuah wadah
minuman, yang Aya lebih suka menyebutnya sebagai ‘teko’ jika di negerinya. Teko
cantik itu juga berlapis batu mulia. Benar benar menyilaukan mata.
“Aya, inilah produk Teh terbaik dari
perusahaan kami. Jauh jauh datang kemari, kau harus mencicipinya. Rasanya
memang tidak sebanding dengan Teh asli dari Negerimu tapi tentu tidak kalah
sebab sama sama menggunakan jenis Teh yang sama” Tuan Cho mengangkat
cangkirnya, menunjukkannya pada gadis itu. ‘menunjukkan’ dalam arti yang
sebenarnya.
Aya memahami maksudnya dan setelah cangkirnya sudah terisi, ia segera
menyesapnya dan membiarkan cairan bewarna coklat itu sejenak berada diujung
lidahnya. Terasa pahit dan sepat, tapi Aya merasa masih ada sedikit rasa asam
walaupun sangat samar. Jika orang awam yang mencicipi, mungkin tidak ada
masalah. Bahkan sudah memasukkannya kedalam daftar Teh terbaik di dunia. Namun
lidah seorang pakar, tidak bisa dibohongi begitu saja.
“Jadi bagaimana menurutmu” lanjut Tuan Cho setelah Aya menaruh cangkirnya
diatas meja.
Mendengar kata ‘menurutmu’, Aya kembali berpikir. Soal ‘rasanya’ atau
‘kontraknya’. Kini ia mengerti, kenapa selama ini Tuan Cho selalu ‘ngotot’
tidak ingin memutus kontrak itu. karna tak kunjung mendapat jawaban, Tuan Cho kembali
melanjutkan ‘presentasi’nya.
“Sudah diakui oleh Dunia. Selain kopi, Teh dari Negaramu adalah nomor 1. Selain
mengandung anti oksidan yang tinggi juga memiliki aroma yang kuat, rasanya
bulat, warna yang khas dan yang paling penting adalah, bagus jika dicampur
dengan bahan lain tanpa mempengaruhi kualitasnya”. Tuan Cho memberi penekanan
pada akhir kalimatnya. Aya semakin yakin dengan dugaannya. “Teh yang luar
biasa” lanjutnya terus memuji.
“Dicampur dengan bunga melati juga sangat nikmat. Aku jadi teringat saat
pertama kali mencicipinya, aku jadi ingin lagi dan lagi. Sangat berbeda dari
Teh Melati dari China. Teh Melati buatan Negerimu memang nomor satu” tambah
Nyonya Cho, yang semakin membuat Aya bangga dengan Negaranya. “Kau tahu Aya,
ibumu yang pertama kali memperkenalkannya padaku. Dia juga penggemar Teh Melati
sampai sampai ia membawa banyak persediaan untuk dibawanya kesini. Hahaha,,,”
wanita itu tertawa renyah mengingat kejadian masa lalunya. “Aku jadi berpikir,
jangan jangan ia menyukai Teh Melati gara gara namanya juga Melati. Apa kau
juga berpikiran seperti itu Aya”
Nyonya Cho terlihat sangat gembira membahas tentang Ibu dari seorang gadis
disebelahnya. Aya juga sangat senang mendapat banyak pujian dipagi ini. Awal
yang bagus untuknya memulai hari dengan lebih baik. Namun tidak dengan Pria
yang menatap mereka berdua dengan intens. Ada kesan ketidaksenangan dalam
matanya bahkan jika ditelisik lebih dalam, akan menemukan sebuah ketakutan.
Ketakutan yang dikuburnya sangat dalam, hingga tak seorangpun dapat melihatnya.
“Mungkin karna nama itu juga yang membuat Ayahmu, seorang pengusaha sukses jatuh
cinta pada ibumu yang hanya seorang pengasuh. Saking cintanya pada kebun Teh
dan kebun melatinya, ia jadi menyukai semua yang berbau melati. Termasuk ibumu”
Pria itu tersenyum penuh arti. Khusus ditujukan untuk Aya. Mungkin baginya,
cerita itu terdengar sangat menggelikan seperti cerita dongeng ketika seorang
pangeran jatuh cinta pada seorang ‘upik abu’. Namun tidak untuk pemikiran gadis
itu.
“Kalau diceritakan, akan seperti cerita Cinderella kan Paman. Cerita yang
mengagumkan, memberi pelajaran bahwa setiap kebaikan walau sekecil apapun akan
dibalas berpuluh kali lipat oleh Tuhan dengan banyak kebahagiaan. Buah dari
sebuah ‘kesabaran’. Kalau di Negaraku ada peribahasa yang cocok untuk cerita
itu. ‘Berakit rakit ke hulu, Berenang renang ke tepian. Bersakit sakit dahulu,
Bersenang senang kemudian”
Nyonya Cho tidak bisa menahan lagi tawanya. Peribahasa itu terdengar lebih
seperti sebuah bulu yang menggelitik di telinganya. Aya juga nampak kegirangan,
baginya reaksi Nyonya Cho lebih lucu dari yang ia bayangkan. Ia lalu melirik Pria
disebelah wanita itu. masih saja dingin, belum menunjukkan tanda tanda hatinya
akan mencair. Namun dengan polosnya, Aya tetap memberi senyuman pada Pria itu.
Senyuman yang sangat populer di Negerinya.
’ keep Smile’
# # #
“Aya, lihatlah. Ini adalah foto ibumu saat pertama kali bekerja disini.
Wajahnya masih polos namun tetap terlihat manis. Umurnya baru 17 tahun waktu
itu” Nyonya Cho memberi jeda sejenak pada kalimatnya untuk menarik napas “Tapi
sudah menjalani hidup yang berat. Ia bercerita bahwa kedatangannya kemari
adalah untuk menyambung hidup. Mencoba peruntungan di Negeri orang, berharap
beban ekonominya akan membaik” lalu wanita paruh baya itu menoleh pada Aya.
“Kuharap Negerimu sudah lebih baik sekarang, sehingga tidak akan ada lagi orang
yang bernasib sama seperti ibumu”
Aya mengangguk sedih. ia bahkan masih mengingat pujian wanita itu tentang
Negerinya namun pujian itu luntur seiring kalimat yang baru saja dilontarkan
Nyonya Cho padanya. Aya paham, wanita itu tidak bermaksud menjelekan Negerinya bahkan
ia justru berdoa agar Negerinya semakin baik. Dalam hati Aya mengamini doa itu,
doa seorang ibu pasti akan terkabul dan Aya yakin itu.
“Dan bayi yang digendongannya adalah Chand. Dia sangat lucu kan waktu bayi”
Aya tersenyum melihat foto itu. “Kau tahu Aya, ibumulah yang memberinya nama
Chand. Chandra, kata ibumu artinya istimewa. Dia memang istimewa bagi kami”
nyonya Cho menghela napasnya sejenak. “Ibumu memang sangat menyukai anak anak.
Walaupun bukan darah dagingnya namun ia menganggap anak yang diasuhnya adalah
anaknya sendiri, contohnya seperti Niel dan Chand sebab dia bukan manusia,
melainkan seorang malaikat. Dia bukan hanya seorang Pengasuh tapi juga sahabat
yang sangat baik”. Mata Aya mulai berair mendengar semua kebaikan tentang
ibunya. Sayangnya ia tidak bisa merasakannya saat dewasa. Aya mengerti
sekarang. ada atau tiada, Ibunya akan selalu hidup dihati semua orang yang
mencintainya.
Nyonya Cho menangkap kesedihan diwajah gadis manis itu dan ia ingin
menghiburnya. Wanita itu kemudian menangkupkan sebelah tangannya dipipi Aya
“Jika ibumu menganggap Niel dan Chand sebagai Putranya maka, kenapa aku
tidak menganggap anaknya ini sebagai Putriku juga. Aku adalah Ibumu, jadi kau
jangan pernah merasa tidak memiliki Ibu”
Detik itu juga, satu bulir airmata jatuh dipipi Aya dan semakin berjatuhan
ketika wanita berhati lembut itu memeluknya. Hangat, yang Aya rasakan. Sehangat
hatinya saat ini.
# # #
BRAKK!!
Niel mendobrak daun pintu itu, tidak peduli dengan dua orang penjaga yang
menghalanginya.
“Maaf Tuan, kami sudah berusaha mencegahnya tapi Tuan Niel tetap memak,,,,”
Pria yang duduk di ruangan itu mengangkat tangannya, membuat penjaga itu
menggantung kalimatnya.
“Pergilah” perintahnya pada penjaga itu. keduanya mengerti kemudian berlalu
setelah kembali menutup pintunya.
“Ada masalah apa Niel”
“Jangan berlagak tidak tahu apa apa, itu semakin memuakkan”
“Aku benar benar tidak tahu maksudmu”
Telinga Niel memanas mendengar jawaban yang tidak memuaskan baginya. Kali
ini, meja dihadapan pria sinis itu yang menjadi sasaran kemarahannya.
BRAKK!!
Tuan Cho memejamkan matanya. Mencoba untuk tidak tersulut oleh emosi Pria
dihadapannya.
“Seharusnya kau langsung mengatakan apa tujuanmu. Tidak perlu menghancurkan
ruang kerjaku seperti ini”. Mata elang milik Niel menatapnya nyalang. Kedua
tangannya masih berada diatas meja itu.
“Kau menantangku tapi justru kau sendiri yang menghalangi tantangan itu”
Tuan Cho tersenyum sinis setelah mengetahui arah pembicaraan yang dimaksud
Niel.
“Kau bahkan yang mengatakannya sendiri kalau aku tidak tahu menahu soal
ibumu. Jadi, kenapa harus aku yang menjadi sasaranmu. Kau salah orang Niel”
Niel mengepalkan kedua tangannya, mendengar pria itu tertawa mengejeknya.
“Dasar tua bangka!!” dua tangan yang terkepal itu kini beralih menarik kerah
Jas yang dipakai Tuan Cho. “Kau memang tidak tahu atau lebih tepatnya tidak
ingin tahu. Tapi jangan kau kira aku tidak tahu jika kaulah orang yang
memerintahkan semuanya. Kau orang yang telah mengurungnya hingga seluruh dunia
tidak pernah tahu tentang keberadaannya!” Niel meninggikan suaranya. Amarahnya
sudah diubun ubun. Ia tidak bisa bersabar lagi. Ia bahkan sudah lupa susunan
rencana balas dendamnya dan tindakannya saat ini tidak pernah ada dalam rencananya.
Semuanya berantakan.
“Kau salah Niel. Bukan aku orang yang mengurungnya tapi justru kakekmu
sendiri”
“Alex Hwang” gumam Niel tak percaya.
“Benar dan aku hanya melaksanakan wasiatnya saja. Dialah orang yang
seharusnya kau mintai penjelasan. Dan kau tahu apa jawabannya, dia MALU” Niel
terbelalak. Tuan Cho lalu menghempaskan tangan Niel menjauh darinya.
“Kau bohong. Justru kaulah orang yang merasa seperti itu. Selain
membunuhnya kau juga tega memfitnahnya. Kau benar benar pecundang”
“Tutup mulutmu Niel!” sebuah tamparan keras lagi lagi mendarat dipipi Niel.
Rasa sakit yang ia rasakan kemarin belum sepenuhnya hilang dan sekarang, ia
harus merasakannya lagi. “Aku kira kau sudah mengetahui semuanya, SEMUANYA.
Tapi kenyataanya, kau tetap tidak tahu apa apa” kini, giliran tuan Cho yang
mengambil alih keadaan. Ia mencengkram kedua lengan Niel. Tanpa kekerasan namun
tetap membuat tubuh Niel terguncang karenanya. “Dengarkan kataku baik baik. Aku
bukan seorang pembunuh seperti yang kau tuduhkan. Karna aku tidak akan melakukan
perbuatan keji macam itu. kakekmu meninggal disebabkan over dosis. Aku memang
orang yang mengambilkannya obat, itupun atas perintahnya. Dan itu bukan berarti
akulah yang harus bertanggung jawab atas kematiannya. Dia sendiri yang meminum
obatnya secara berlebihan”
Niel tersenyum sinis. “Jadi, kau merasa menjadi orang baik dengan
menjalankan semua wasiatnya. Mengembangkan perusahaan, ‘menjaga’ putrinya dan
membiayai sekolah cucunya hingga perguruan tinggi. Itukah wasiat kakekku Tuan?
Oh seharusnya aku berterimah kasih atas jasa jasamu. tapi itu tidak akan pernah
terjadi, sebab uang yang kau habiskan untuk semua itu memanglah hak kami”.
Tuan cho menatap dalam kearah mata elang Niel. Semua yang dikatakannya
memang benar. Ia bukan siapa siapa dan juga bukan apa apa. Ia hanya seperti
seorang robot yang mudah diperintah tuannya. ia hanya robot, ROBOT.
Pria berkacamata itu lalu melepas cengkeramannya pada Niel hingga tubuh pemuda
itu sedikit terdorong kebelakang. kemudian tuan Cho kembali keposisi awalnya
dengan duduk bersilang kaki dikursi kebesarannya. “Dan aku juga tidak butuh
ucapan terima kasihmu” ucapnya sinis. “Aku telah diberi kuasa penuh oleh
kakekmu untuk menjalankan semua aset perusahaannya. Jika usahanya berkembang,
itu adalah bonus untukku. Bukan lagi termasuk kedalam asetnya, sebab kakekmu
sendiri yang menjanjikannya padaku”. Tuan Cho menyesap Tehnya sebentar, sekedar
untuk meredakan rasa pusing yang tiba tiba menderanya
# # #
“Lihatnya ini foto Niel waktu kecil. Dia bocah yang sangat aktif, ibumu
sangat kerepotan mengurusnya. Berbeda dengan Chand yang sering sekali mengalami
sakit. Jadi aku selalu menuruti semua keinginannya agar dia tidak pernah sakit
lagi. Aku memang terlalu memanjakannya hingga tidak pernah memperhatikan Niel”
gumam nyonya Cho penuh penyesalan.
Aya memperhatikan foto lama itu dengan seksama. Ada perbedaan yang sangat
jelas antara Niel dan ibunya. Niel yang berwajah oriental dengan kulit putih
susunya sedangkan ibunya berwajah asia tenggara dengan kulit yang sedikit
kecoklatan. Namun justru itu yang membuat keduanya terlihat begitu manis.
Ikatan kasih sayang antara ibu dan anak tidak akan bisa dipisahkan hanya karena
pertalian darah.
Pandangan Aya kini terpaku pada benda yang ikut terpotret disebelah ibunya.
“Bolpoin?” gumam Aya.
“Ibumu kan memang gemar menulis sejak kedatangannya kembali kerumah ini.
ibumu menulis banyak hal tapi ia tidak pernah mengijinkanku untuk membaca
tulisannya. Ibumu pelit, tidak mau berbagi pada orang lain dengan menyimpannya
untuk dirinya sendiri”. Aya menangkap nada kegetiran pada kalimat terakhirnya.
Wanita itu kecewa, kecewa atas tindakan ibunya yang tidak mau terbuka. “Jika
dia tidak ingin orang lain mengetahuinya kenapa dia harus menulisnya. Dia kan
bisa menyimpannya sendiri didalam hatinya, benar kan Aya. itulah satu satunya
sifat buruk yang dimiliki ibumu, PELIT”
Kali ini, Aya menangkap luka yang tersirat dari mata indah itu. Aya paham,
menjadi satu satunya orang yang tidak mengetahui sebuah rahasia membuat wanita
ini merasa terabaikan dan itu membuatnya semakin terluka. Kini, giliran Aya yang
ingin mengobati luka hatinya.
Aya memegang kedua tangan nyonya Cho dan membiarkan album foto itu
tergeletak dipangkuannya. “Aku disini mewakili ibuku untuk meminta maaf padamu.
Mungkin ibuku tidak bermaksud membuatmu terluka tapi justru sebaliknya, Ia ingin
menjaga perasaanmu. jadi jangan bersedih, bu”. Mendengar Aya memanggilnya ibu,
nyonya Cho langsung menghambur memeluknya lagi. Matanya berkilat dengan senyum
terkembang dibibirnya.
Dalam pelukan nyonya Cho, Aya kembali mengingat Bolpoin dalam foto ibunya.
Sepertinya ia pernah melihat benda itu sebelumnya. Warnanya hitam dengan sebuah
tulisan bewarna emas ditengahnya. Lagi lagi ia harus memutar otaknya untuk
mengingat sesuatu dan ya, akhirnya ia mengingatnya.
“Nyonya, ini Teh melatinya” tegur seorang pelayan, membawakan sebuah nampan
dengan dua cangkir teh diatasnya. Nyonya Cho melepas pelukannya.
“Oh, taruh saja di situ” pintanya. Pelayan itu patuh, setelah meletakkan
cangkir yang masih mengepulkan uap hangat itu diatas meja. Pelayan itu undur
diri yang sebelumnya mendapatkan ucapan terima kasih dari nyonyanya. “Aya, kau
belum mencicipi Teh melati ala keluarga Cho kan? ini dia, dan tenang, ini sudah
termasuk gula” ucap nyonya Cho menyegarkan suasana. Aya tertawa mendengarnya.
Semoga ia memang benar benar telah melupakan luka hatinya.
Keduanya bersulang kemudian menyeruput Tehnya masing masing. Nyonya Cho
menghembuskan napasnya rileks setelah merasakan aroma melati bercampur
nikmatnya rasa teh mengaliri tenggorokannya.
“Camellia sinensis bertemu dengan Jasmium sambac. Emm, sungguh
pasangan yang serasi”
DEG!
Aya baru saja akan meminum tehnya namun ia urungan ketika mendengar
pernyataan ‘mengagumkan’ itu. ia seperti menyadari sesuatu, sebuah teka teki
yang menghantuinya semalaman kini terjawab dengan mudahnya oleh wanita luar
biasa disampingya. Aya melebarkan mulutnya tak percaya dan langsung memeluk
wanita itu erat erat. Sedangkan nyonya Cho yang mendapat pelukan tiba tiba itu,
hampir saja menumpahkan tehnya ke wajahnya sendiri. wanita itu diam diam
tersenyum, seakan mengetahui alasan apa yang membuat gadis itu memekik
kegirangan.
-
Aya berjalan dengan langkah pelan. Berlian hitamnya bergerak gerak sedari
tadi pertanda pikirannya sedang bekerja. Sejak berpisah dengan nyonya Cho tadi
diruang tengah, Aya memang terlihat begitu tegang. Wajahnya nampak serius
memikirkan sesuatu. Mendadak langkahnya berhenti, menyakinkan dirinya sendiri
tentang sesuatu. Ingatannya kembali berputar, mundur di 10 menit yang lalu.
“Kau tahu Aya, aku pernah berniat untuk menyelidiki sendiri rahasia itu.
mengingat satu satunya orang yang menjadi kunci utamanya telah tiada”. Aya
paham, orang yang dimaksud nyonya Cho adalah ibunya. “Dan percuma saja bertanya
pada suamiku, ia tidak akan menjawab apapun selain desahan frustasi yang keluar
dari mulutnya. Aku sangat tahu sifatnya, kediamannya adalah pertanda bahwa
rahasia itu hanya miliknya sendiri. puncaknya adalah saat kedatangan Niel
menawarkan diri untuk menjadi donor bagi Chand dan sejak itulah, satu rahasia
itu terbongkar”.
“Aku tahu ia semakin frustasi saat itu, terlihat dari bertambahnya keriput
diwajahnya. Namun ia tetap saja diam. tidak peduli apa kata orang tentang
dirinya, baginya semuanya akan cepat berlalu ketika semua orang telah bosan
membicarakannya dan segalanya akan kembali baik baik saja. ya, rahasia besarnya
memang masih baik baik saja dan aku semakin semangat untuk menggalinya. Namun,
semakin aku ingin menguak rahasia itu semakin rapat pula ia menutupnya. Ia
benar benar tidak ingin ada orang yang mengetahuinya.
“Aku mengerti perasaannya, walaupun aku tahu ia tersiksa dengan semua itu dan
karna itulah akhirnya aku menyerah. Tidak ingin menambah beban hatinya. aku
akan tetap disisinya tanpa bertanya apapun lagi” wanita itu menarik napas
sebelum melanjutkan ucapannya. “Mungkin mengetahui rahasia itu akan sangat
menyakitkan. Tapi sebenarnya, menduga duga hal yang tidak pasti terasa lebih menyakitkan
namun aku selalu berusaha untuk percaya padanya, pada rahasianya”
Perkataan nyonya Cho ditutup dengan airmata yang lolos dari kedua mata
indahnya.
# # #
“Jadi sekarang, aku memimpin dua kekuasaan yang sangat merepotkan itu.
benar benar melelahkan mengurus semuanya sendirian. jadi aku berpikir, sudah
saatnya untuk menyerahkan warisan tuan Hwang pada ahli waris yang sesungguhnya.
Tapi sepertinya, rencanaku tidak berjalan dengan lancar. Kau tahu Niel, jika
saja kau tidak buru buru pulang dari Amerika dan datang pada kami dengan
membawa dendam konyolmu itu, semuanya akan tetap baik baik saja. kau bahkan
dapat bertemu ibumu kapanpun kamu mau tanpa harus menyusahkanku seperti ini”
tuan Cho menekankan kalimat terakhirnya, menyindir Niel yang masih terpaku
berdiri dihadapannya.
“Dengan bodohnya kau kembali pada kami dan membongkar identitasmu sebagai
saudara dari Chand. Kau tahu apa resikonya, hah? Kau menyulitkan dirimu sendiri
untuk bertemu ibu kandungmu” Niel membelalakan mata, tidak menyangka bahwa pria
angkuh dihadapannya ini pernah memikirkan masa depannya. Yang Niel tahu, sosok
dihadapannya ini tidak pernah menganggapnya ada. Dulu, Pria itu selalu
mengacuhkan Niel kecil yang menyapanya ramah. Alih alih menjawab sapaan, bahkan
melirikpun tak pernah.
Tuan Cho kembali menegakkan tubuhnya setelah pusing yang ia rasakan sedikit
mereda. “Berhentilah berbuat hal hal konyol dengan alasan balas dendam sebab
itu semua tidak akan berguna jika kau masih ingin bertemu dengan’nya’. Hentikan
mulai sekarang atau kau akan menyesal untuk selamanya” Niel mengepalkan
tangannya kuat kuat, mendengar ancaman itu lalu kembali melangkahkan kakinya
untuk mendekat. Mata elang miliknya bersiap menerima tantangan.
“Kau kira aku seekor tikus bodoh yang akan takut dengan ancaman busukmu
itu, lupakan saja” Niel tersenyum mengejek pria tua itu. “Aku akan tetap
menghancurkanmu dan soal ibuku, aku bisa mengurusnya sendiri dengan atau tanpa
bantuanmu. Jadi, bersiap siaplah!”
“Kau akan menyesal Niel” sahut tuan Cho datar. Tidak ada penekanan kata
seperti biasanya. bahkan kalimat itu lebih terdengar seperti sebuah nasihat
bukan peringatan.
“Aku tidak peduli, BRENGSEK!”
Tiba tiba pintu terbuka,
“Paman Cho, apa kau,,,,” Aya menggantungkan kalimatnya melihat ayah dan
anak itu saling berhadap hadapan.
Niel memalingkan wajahnya kearah pintu dan sangat terkejut dengan sosok
yang berdiri disana. namun ia tetap memandang mata itu, mata yang paling
dihindarinya itu kini justru menatapnya dengan intens. Dan seolah tidak kuat
lagi dengan tatapan itu, Niel berlalu dari ruangan itu dengan desahannya yang
berat.
Sedangkan Aya hanya terpaku menatap kepergiannya. Bukan heran melihat
kelakuan tidak sopannya namun yang menjadi perhatian gadis itu adalah aroma
yang keluar dari tubuh pria itu. sepertinya ia pernah mencium wangi yang sama dan
akhirnya ia mengingatnya yang otomatis membuat matanya melebar seketika.
Dan tuan Cho mengambil kesempatan itu untuk membalikkan badannya saat gadis
itu masih sibuk dengan pemikirannya sendiri. tuan Cho menghapus airmatanya yang
sudah tidak bisa ia tahan lagi. Ya, pria itu menangis mendengar kata terakhir
yang diucapkan Niel padanya. Terlalu sakit untuk didengar seorang ayah walaupun
kata itu memang pantas ditujukan untuknya.
Aya kembali fokus pada tujuannya datang ke ruangan itu. ia menatap tuan Cho
yang masih berdiri membelakanginya. Beberapa saat mengamati punggung itu lagi
lagi Aya terkesiap, tidak menyangka teka teki yang selama ini memenuhi
pikirannya kini terjawab satu persatu.
“Punggung itu,,,” mulut Aya bergumam. Detik itu juga tuan Cho menoleh
padanya setelah memakai kacamatanya kembali. Tentu pria itu tidak mau Aya
mengetahui apa yang baru saja terjadi padanya.
“Ada perlu apa kau datang sepagi ini. jika itu mengenai surat kontrak
berarti kau sudah mengambil keputusan?”
“Ya” jawab Aya mantap.
“Kau sangat terburu buru tapi baiklah,,” tuan Cho mengambil sebuah berkas
dari laci mejanya dan menaruhnya keatas meja. Aya duduk dihadapannya sambil terus mengamati gerak gerik pria itu.
“Kuharap kau tidak mengambil keputusan yang salah” lanjut tuan Cho.
“Keputusan saya tergantung dari jawaban anda paman” tuan Cho mengerutkan
alisnya, merasa ada sesuatu yang direncanakan gadis itu padanya. “Apakah
benar,, anda orang yang merencanakan pembunuhan orang tua saya?”
Aya mengajukan pertanyaannya dengan suara tenang dan tanpa kesan menuduh
siapapun. Yang justru membuat tuan Cho mulai panik karenanya. Pria itu tidak
langsung menjawab, ia masih sibuk mengetuk ngetukkan Bolpoinnya diatas meja. ia
butuh waktu untuk berpikir jawaban apa yang ‘cocok’ atas pertanyaan jebakan
itu.
“Saya tidak ingin bekerja sama dengan orang yang telah menghancurkan orang
lain demi kepentingannya sendiri dan saya sangat berharap jika anda bukanlah
orang yang seperti itu” tuan Cho reflek menghentikan kegiatan tangannya diatas
meja. Ia menatap kedalam manik berlian hitam itu, baru pertama kalinya
ancamannya tidak berpengaruh apapun kepada rekan bisnisnya dan yang lebih
mengherankan lagi adalah rekan bisnisnya kali ini hanyalah seorang gadis
ingusan yang usianya baru 21 tahun?
“Kau sudah siap dengan segala resikonya?”
“Ya”
‘Sial!’ umpat tuan Cho dalam hati. Ia meremas Bolpoinnya kuat kuat seakan
pikirannya sedang berperang untuk menyerahkan Bolpoin itu pada Aya atau tidak.
Aya terus memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan lawan bicaranya itu
dan yang paling menarik perhatiannya adalah Bolpoin hitam yang berada
digenggaman tuan Cho. Ada sebuah nama bewarna emas tertulis disana namun mata
indahnya belum bisa melihatnya dengan jelas nama siapa yang tertera disana.
“Baiklah jika itu memang maumu” akhirnya tuan Cho angkat bicara. “Silahkan
tanda tangan,,, jika kau memang ‘sudah siap’!” pria itu menaruh Bolpoinnya
diatas berkas dan menggesernya kepada Aya. pada akhirnya ia tetap
mempertahankan gengsinya, mempertahankan ancamannya walau ‘kesempatan’ yang
menguntungkannya sudah didepan mata. bagaimanapun ia harus mengambil resiko dan
walaupun ia berkata tidak, menurutnya gadis itu tidak akan puas hanya dengan
jawaban itu. ia pasti akan meminta lebih, dan itulah hal yang paling
ditakutinya.
Aya tersenyum penuh arti, lalu mengambil berkas beserta Bolpoinnya. Membuka
beberapa lembar halamannya dengan sangat hati hati. “Jadi paman yang mengajukan
kontrak ini, dan ayah menyetujuinya. Apa kesepakatannya hanya seperti ini
paman?”
Tuan Cho menelan ludah, rahangnya mengeras. Apa yang diramalkannya beberapa
saat lalu kini jadi kenyataan. Gadis itu mencoba mengintrogasinya.
“Bukan urusanmu” jawab tuan Cho, mencoba untuk tidak terpancing.
Aya menghela napas, lalu melirik Bolpoin ditangannya. Memutarnya sekali
untuk mencari sebuah nama, CAMELLIA. Aya tersenyum puas memandangi nama itu.
setelah mendatangani beberapa lembar dari berkas itu, ia menyerahkannya kembali
pada tuan Cho. Gadis itu bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangannya namun
pria dihadapannya masih tak bergeming. Merasa tak mendapat respon, Aya menarik
tangannya kembali
“Senang telah bekerja sama dengan anda dan terima kasih sudah mengundang
saya untuk datang kemari dan mengenal keluarga anda lebih dekat. Saya harap
tali persaudaraan ini tidak terputus sampai disini. Saya pamit paman, semoga
paman sekeluarga sehat selalu” akhirnya Aya melangkahkan kakinya menuju pintu.
‘Hanya seperti ini?’ batin tuan Cho, perkiraannya kali ini meleset. Gadis
itu tak menunjukkan keingintahuan yang besar tentang kecelakaan kedua orang
tuanya. Sebenarnya apa yang gadis itu rencanakan. Sikapnya semakin misterius,
menurutnya dan untuk mengetahuinya ia memanggil Aya kembali sebelum gadis itu berhasil
membuka pintu ruangannya. “Apa rencanamu setelah ini”
“Mengemasi barang dan kemudian pergi”
tuan Cho semakin tidak percaya dengan apa yang didengarnya namun ia juga harus
bersikap senormal mungkin untuk mengimbangi ‘tipu muslihat’ gadis itu.
“Baguslah kalau kau tahu diri, bersiap siaplah dari sekarang!” saat
mengatakannya, tuan Cho sama sekali tak melirik sedikitpun kepada Aya. pandangannya
fokus menatap berkas dihadapannya dengan geram membuat Aya memandanginya dengan
iba. Sebenarnya ia tidak tega untuk memutus kontraknya namun ia harus tetap
memilih untuk mementingkan Negaranya. “Jangan sampai kau berakhir seperti ini”
lanjut pria itu, sambil meraih berkas dimejanya dan melemparkannya asal
ketempat sampah.
Aya tertegun beberapa saat,
membayangkan jika dirinya yang berada diposisi itu namun ia harus tetap kuat. ‘Itu
hanya gertak sambal Aya, dan hal seperti itu tidak mungkin terjadi’, bisik Aya
menyemangati dirinya sendiri. ia lalu berbalik, membuka pintu dan bermaksud pergi
dari sana. Menunjukkan bahwa ancaman itu tak berpengaruh apapun baginya namun
sekali lagi tuan Cho menghentikannya.
“Dan kau lupa mengembalikan Bolpoinku” Aya baru sadar kalau Bolpoin itu
masih berada ditangannya. Ia kembali lagi menuju meja tuan Cho dan menyerahkan
benda hitam itu padanya.
“Maaf. Bolpoin yang bagus paman” kembali Aya tersenyum penuh arti dan tuan
Cho melihatnya dengan jelas. Ia menangkap sesuatu yang aneh dalam kalimat gadis
itu. mungkinkah ia tahu sesuatu?
-
Akhirnya Aya keluar dari ruangan ‘mengerikan itu’. ia menghembuskan napas
berkali kali menenangkan detak jantungnya.
Dua penjaga yang berjaga di depan pintu itu memandanginya heran. Aya
tersenyum menyapa keduanya dan segera beranjak pergi dari sana sambil menahan
malu. Aya mengambil jalan yang langsung menuju arah kamarnya dan setelah
bayangan dua penjaga itu tidak terlihat lagi, Aya menghentikan langkahnya.
Kakinya melemas beserta tubuhnya sehingga menyandarkannya pada dinding bercat
putih gading disampingnya. Sebenarnya, ia sangat takut. Takut dengan tatapan
membunuh yang ditunjukkan tuan Cho padanya. Benar benar mengerikan, ia seperti
seorang Bos mafia yang sangat kejam. Siapapun yang melihatnya pasti akan
bergidik ngeri dan bertekuk lutut dihadapannya memohon ampunan.
Aya tersenyum memuji dirinya sendiri sebab telah berhasil mengatasi rasa
gugupnya dan mampu mengimbangi ‘permainan’ mafia tuan Cho yang terkenal itu. ia
kembali teringat ucapan tuan Cho yang mengatakan jika Bolpoin itu adalah miliknya.
Tidak mungkin kan seorang Cho mengakui benda yang tidak beharga itu sebagai
miliknya. Atau jangan jangan, benda itu memang sangat beharga sehingga tuan Cho
harus mengakuinya atau,,,,. Pikiran Aya tiba tiba buyar mendengar ponselnya berbunyi
dan melirik siapa nama yang sedang memanggilnya. Ia tersenyum kemudian menjawab
panggilan itu.
“Apa kabar tante Dewiku yang cantik” sapa Aya
“Baik. Kabarmu sendiri bagaimana? Orang itu tidak berbuat macam macam kan.
tubuhmu masih utuh kan” sahut tantenya bertubi tubi. Aya tertawa mendengarnya.
“Masih tante”
“Syukurlah. Lalu bagaimana dengan tugas pertamanya? Kau sudah berhasil?”
“Ya. Baru saja selesai”
“Baguslah. Karna tugas keduanya lebih dulu selesai jadi cepatlah pulang.
Tante sangat cemas memikirkan keselamatanmu hingga tidak bisa tidur. Setelah
kau siap, hubungi kantor Kedutaan untuk menyewa aparat keamanan untuk mengawal
kepulanganmu tapi kalau kau tidak sempat biar tante saja yang melakukannya”
“Tidak perlu tante Dew, lagipula aku belum mau pulang. Ada tugas tambahan
yang juga harus diselesaikan”
“Tapi Ay, kita sudah sepakat kan. ini demi keselamatanmu jadi kembalilah
sekarang juga, jangan membahayakan nyawamu sendiri”
“Tidak akan terjadi apa apa tanteku yang baik hati. Aku bisa jaga diri kok,
percayalah. Dan kalaupun aku kembali dalam keadaan tak bernyawa, setidaknya
usahaku tidak sia sia kan”
“Ayaaaaaaaaaaaaaa!” teriak suara dari seberang telepon hingga Aya harus
menjauhkan ponselnya dari gendang telinganya.
# # #
Tuan Cho duduk dikursinya dengan gelisah. Ia sedang memikirkan apa yang
akan dilakukannya setelah melihat surat kontraknya akhirnya tetap berakhir
menjadi tumpukan sampah. Ia mengepalkan tangannya sambil memejamkan mata. apa
yang harus dikatakannya pada mendiang tuan Hwang jika ia telah gagal mempertahankan
pabrik teh kebanggaannya. Apa yang akan diberikannya pada Niel nanti jika ‘harta’nya itu terancam akan bangkrut.
Pemuda itu pasti akan menertawakan ketidakmampuannya.
“Arrrrrrrrrrgh!”
Pria itu mengerang frustasi. Membuat kepalanya kembali berdenyut nyeri.
Rasa pusing membuat pandangannya berputar putar. Tepat pada saat itu, istrinya
datang dengan wajah khawatir.
“Kau kenapa” tanyanya. Tak ada jawaban, tuan Cho masih memegangi kepalanya
yang terasa mau pecah. Istrinya semakin panik. “Akan kupanggilkan dokter,
tenanglah sebentar!” nyonya Cho beranjak meraih gagang telepon disamping
suaminya namun sebuah tangan kekar berurat menahan pergelangannya.
“Tidak perlu. Aku tidak butuh dokter. Aku hanya perlu kontrak dan aku harus
mendapatkannya” setelah mengatakan itu, ia merebut gagang telepon dari tangan
istrinya dan memencet beberapa nomor untuk menghubungi seseorang. Setelah
tersambung, mata elang milik tuan Cho menyipit. “Cari tahu jadwal penerbangan
ke INDONESIA hari ini, atas nama Cahaya Gunawan dan pastikan dia mendapatkan
hadiahnya”. Perintah itu sukses membuat Istrinya terkejut
“Apa yang akan kau lakukan padanya” tanya nyonya Cho setelah suaminya
menutup teleponnya.
“Ini tentang bisnis jadi kau tidak perlu ikut campur” jawab tuan Cho
menenangkan istrinya.
“Kenapa kau selalu seperti ini. sebenarnya kau menganggapku ini apa? jika
kau tidak mencintaiku lagi, tidak masalah. Yang terpenting adalah kau mau jujur
padaku, itu saja sudah cukup. Aku akan menerima semuanya, semua rahasiamu”
nyonya Cho menangis sambil menunjuk Bolpoin yang baru saja diletakkan Aya
diatas meja, berharap suaminya menangkap isyarat itu. “Aku tahu, kau melakukan
semua ini demi kami tapi kumohon berhentilah. Jangan menyusahkan dirimu lebih
lama lagi. sudah saatnya kau beristirahat dari semua pekerjaan ini, Chand dan
aku sudah merasa cukup. Saatnya kau memikirkan kebahagiaanmu sendiri ”
Nyonya Cho membekap mulutnya,
berusaha menahan isaknya. Langkahnya mulai beranjak dari tempat itu namun
sekali lagi, tangan kekar berurat itu kembali menahannya. Tuan Cho menarik
tubuh istrinya kedalam dekapannya tanpa mengucapkan sepatah katapun sebab
gerakan tubuhnya ia yakini lebih jujur dari satu kata yang keluar dari
mulutnya. Ia mengusap ngusap punggung istrinya sambil menghirup aroma yang
keluar dari rambut coklat yang mulai memutih itu. lalu menciumnya dengan
lembut, menyalurkan perasaannya yang sebenarnya yang tidak pernah bisa
diungkapkannya. Pria itu menangis sekali lagi, mengingat tentang kesalahan masa
lalunya. Banyak yang terluka akibat ulahnya, ia terlalu egois mementingkan
pemikirannya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang orang yang dicintainya.
istrinya benar, sudah saatnya ia harus berhenti. ia akan memulainya dari awal
lagi dan mengakhiri semua kebohongannya.
Bersambung,,,,,,,