Gadis Senja

Jejak jejak langgkah kaki tercetak satu persatu diatas pasir. namun dalam sekejap, tersapu aliran ombak yang mendayu dayu. gemericik airnya mengalunkan lagu sendu, mengiringi berjalannya waktu, yang orang orang menyebutnya dengan , , , , ,
SENJA

   "Siapa namamu?". gadis berkulit kuning itu menatapku lalu tersenyum tipis.
   "Senja" lirihnya
   "Sen-ja?!" tanyaku tak yakin. ia menatapku lagi dan tersenyum (lagi). "Ah, maaf nona bukan maksudku . ."
   "Tidak apa apa" sahutnya memotong kata kataku.
HENING
Gadis manis itu kembali memandang kilauan matahari yang mulai tenggelam, panorama merah jingga yang seakan mengabarkan saat saat terakhirnya.

   "Aku mungkin tidak tahu arti namamu, tapi menurutku namamu cukup bagus" kataku akhirnya, untuk mencairkan suasana. ia kembali tersenyum. aku heran, kenapa ia mudah sekali tersenyum dan sialnya, senyumannya sungguh memikat.
   "Apa yang kamu lihat?" tanyanya tanpa menoleh kearahku. aku yang sudah kepalang basah memperhatikannya dari tadi, mau tidak mau harus mengakuinya.
   "Kau" 
   "Senja?" tanyanya, masih tanpa menoleh
   "Ya" jawabku.
   "Aku juga sedang melihat Senja" sahutnya, yang membuatku kini paham akan arti namanya
   "Nama yang sangat indah" pujiku dan lagi lagi ia tersenyum. akhirnya ia menampakkan wajahnya yang menurutku, juga indah. "Dari negara mana?" tanyaku lagi, yang tiba tiba menghapus senyumnya yang selalu tersugging dibibir manisnya itu.

Ia menunduk dalam diam, napasnya terasa berat untuk dihembuskan. terbesit rasa sesal kenapa pertanyaan (bodoh) itu keluar begitu saja dari mulutku.

   "Aku tidak tahu" jawabnya tiba tiba. "Tapi kata Ayahku, Negeri itu sangat indah. Negeri yang terkenal dengan keramahannya. Negeri yang sangat luas dan makmur, bahkan orang orang bilang bahwa tanah Negeri itu adalah tanah surga. karna dapat merubah tongkat kayu menjadi tanaman" terangnya dengan penuh kebanggaan.
   "Negeri yang luar biasa" kataku kemudian sambil melangkah maju mendekatinya. tapi baru dua langkah, ia justru melangkah mundur menjauhiku.
   "Kata Ayah, di Negeri itu seorang perempuan harus menjaga diri dan kehormatannya. apalagi, terhadap laki laki yang bukan suaminya"

DEG!. Sungguh, baru pertama kalinya aku mendengar kata kata seperti itu.

   "Maaf, aku tidak tahu" sesalku.
   "Matahari telah tenggelam, aku harus segera kembali. sampai jumpa" katanya lembut, sambil tetap tersenyum untuk mengurangi kebekuanku akan kata kata(ajaib)nya. akupun ikut tersenyum. ia berjalan kearahku, namun mengambil sisi yang berbeda. aku seperti tak rela menatap kepergiannya.
   "Se- Senja!" panggilku, berusaha menyebut namanya. ia berhenti dan menoleh
   "Kapan kita bisa bertemu lagi?"
   "Jika Tuhan mengijinkan, pasti bertemu lagi" jawabnya. lagi lagi kata katanya membuat dadaku sulit untuk bernapas.
   "Tu, Tuhan?!"
   "Ya. Ayahku bilang, Negeri itu adalah Negeri yang sangat percaya pada Tuhan. bahkan, Dasar Negara yang pertama adalah percaya pada Tuhan yang maha esa. saat Matahari tenggelam seperti saat ini, di Negeri itu orang orang ramai berbondong bondong pergi ke tempat ibadah untuk bersujud pada Tuhan. seperti yang akan aku lakukan saat ini".

Aku sudah kehilangan kata kata lagi. perkataannya begitu sulit untuk dicerna. tapi untuk berpisah dengannya seperti ini aku takkan rela. aku seperti orang bodoh yang mendapat beberapa pelajaran. aku tidak akan melepasnya begitu saja.

   "Negeri itu, kau selalu menyebutnya begitu. lalu, sebenarnya Negeri itu dimana?" tanyaku akhirnya
   "Aku tidak tahu" katanya, masih dengan jawaban yang sama."Ayahku tidak pernah memberitahukan nama dan letak Negeri itu. jika aku tanya kenapa, Ayahku selalu bilang, 'Jika waktunya sudah tepat, Ayah akan mengajakmu kesana. kau tahu nak, seiring berkembangnya zaman. Negeri itu sudah banyak berubah. senyum sudah jarang terlihat dari orang orangnya. kalaupun ada, itu hanya formalitas untuk mengokohkan jabatan dan kekuasaannya. tanah tanah berubah menjadi semen, anak anak perempuan zaman sekarang, tidak tahu lagi apa itu kata malu dan lebih parahnya lagi, orang orang Negeri itu sudah mulai lupa tentang Tuhan. Ayah takut, kamu akan kecewa nantinya',"

Aku masih menatapnya, berharap ia akan melanjutkan ceritanya. tapi harapanku sirna saat ia kembali memandang warna langit yang mulai berubah.

   "Maaf, waktuku hampir habis. aku harus pergi" walau berat, akhirnya aku harus melepasnya pergi dengan ribuan pertanyaan yang masih tergantung dilangit Senja ini.
   "Senja, semoga suatu saat kita bertemu lagi!"

0 komentar:

Posting Komentar