HITAM Dan PUTIH (Bagian 6)

HITAM Dan PUTIH

            Niel duduk termenung di tempat tidurnya. Pandangannya kosong namun tertuju pada lembaran lembaran kertas yang berserakan dilantai kamarnya. Kertas kertas itulah yang membantunya mengetahui rahasia tentang asal usulnya dan semua itu tidak datang dengan sendirinya, Niel yang berusaha mencarinya sendiri. kemampuan otak dan kelincahan jari jarinya lah yang memecahkan semuanya. Mata elangnya bergerak gerak, seperti mencari sesuatu diantara kertas kertas itu. tatapannya jatuh pada sebuah kertas yang langsung disambarnya dan membawanya menuju ‘meja kerja’nya.
            Setelah memakai kaca mata, Niel mulai menghidupkan layar komputernya dan segera mengetikkan sebuah nama dalam mesin pencarian. Sedetik kemudian mesin itu berhasil menampilkan ribuan hasil penelusuran mengenai nama tersebut. Niel melirik lagi kertas disampingnya, hasil print dari sebuah surat kabar lama yang memotret 3 orang pria. Dua orang saling berjabat tangan dan seorang lainnya berada disamping pria yang lebih tua darinya. Niel mengamati pria berkacamata bulat tersebut kemudian tersenyum sinis.
            “Mohon bantuanmu” bisiknya pada gambar pria itu. fotonya hanya menampakkan sebagian dari wajahnya sebab terhalang tubuh pria disampingnya.
            Niel kembali menatap layar didepannya  lalu mulai memainkan kelincahan jari jarinya untuk mendapatkan informasi tentang pria tersebut. Sementara Niel tengah sibuk dengan ‘pekerjaan’nya. Aya juga sedang sibuk mengemasi barang barangnya. Satu koper berukuran sedang telah siap dibawanya.
            Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya menyapu setiap sudut kamar yang menjadi kamar pribadinya beberapa hari yang lalu itu, memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Satu satunya barang yang tidak masuk daftar bawaannya adalah buku cerita bergambar punggung seorang pria. Aya mengambil buku tersebut kemudian membawanya pergi beserta kopernya keluar dari kamar putih beraroma melati itu.
Sesampainya didepan pintu keluar, pasangan Cho telah menantinya. Nyonya Cho yang pertama menghampirinya dan langsung memeluknya sebelum perpisahan mereka. Wanita itu lalu berbisik ditelinga Aya.
“Semoga berhasil sayang, maaf telah banyak merepotkanmu. Jika kau butuh sesuatu, aku selalu siap” setelah itu pelukan mereka terlepas. “Semoga perjalanmu lancar dan selamat sampai tujuan dan jangan lupa, kalau ada kesempatan datanglah kemari. aku akan sangat merindukanmu. Oh ya, kau juga belum melihat kebun melati keluarga Cho kan? karna Chand masih dirumah sakit, aku belum berani memperlihatkannya padamu. Maaf ya” lanjut nyonya Cho tanpa berbisik lagi.
“Aku mengerti Tante. Jangan lupa sampaikan salamku untuk kak Chand dan Jane ya. Maaf aku belum sempat berpamitan dengan mereka” sahut Aya menyesal
“Tidak apa apa, mereka pasti mengerti. Oh ya, apa kau sudah berpamitan dengan Niel?” mendengar pertanyaan itu, Aya tersenyum masam.
“Sudah Tante” jawabnya. Nyonya cho tersenyum dan sedetik kemudian ia menghela napas berat
“Aku pasti sangat sangat merindukanmu. Setelah kau sampai nanti jangan lupa hubungi aku ya” ujarnya seraya memeluk lagi gadis kesayangannya itu untuk kesekian kalinya dan kali ini, pelukannya sangat erat hingga tubuh Aya ikut bergoyang karenanya.
“Siap grak!” sahut Aya sambil mengangkat tangan kanannya, berada tepat disebelah kanan atas alisnya. tentu saja setelah nyonya Cho melepaskan pelukannya.
“Kau sudah siap?” tanya sebuah suara diiringi dengan bunyi langkah kakinya yang mendekat. Aya memalingkan pandangannya ke asal suara berat nan tegas itu. butuh sekian detik untuk gadis itu merespon ucapan pria di depannya. Seluruh urat sarafnya menegang seketika namun tidak untuk waktu yang lama. rasa cemas itu luntur saat ia memberikan senyuman manisnya.
“Siap Paman”. Dan tanpa terduga, Pria itu membalas senyumannya.
“Maaf jika kami belum dapat menjamumu dengan baik. Istriku benar, jika ada waktu sempatkanlah kemari. kami akan berusaha lagi”. Aya tidak tahu pasti apa maksud senyuman itu tapi ia sangat yakin bahwa senyuman itu memang tulus diberikan untuknya dan belum hilang rasa keterkejutannya,Tuan Cho sudah melingkarkan kedua tangannya untuk memeluknya. Sambil berbisik, pria itu mengatakan sesuatu. “Lupakan semua yang sudah kukatakan padamu. Anggap saja bahwa aku pria yang kasar dan menakutkan tapi tenang saja, aku bukan pria yang berbahaya” tuan Cho tersenyum sambil memegang kedua lengan Aya, seakan menyakinkan gadis itu bahwa apa yang dikatakannya adalah sungguhan.
Aya ikut tersenyum. Seakan juga memberitahukan, bahwa ia sudah tahu.
# # #
Matahari telah tenggelam beberapa saat yang lalu, namun Niel masih saja menyibukkan dirinya didepan komputer. Selain melakukan pekerjaannya, ia juga harus menyelesaikan tugasnya sendiri. sesekali ia memegang lehernya yang kaku, lalu menggerakkannya ke kanan dan kiri untuk melemaskannya lagi. Pada akhirnya ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, dan itu artinya jam kerjanya telah seselai.
Niel bangkit dari duduknya lalu melakukan gerakan ringan untuk melemaskan seluruh otot tubuhnya. Hal yang selalu ia lakukan setelah melakukan pekerjaannya. langkahnya beralih menuju kulkas kecil yang tidak jauh dari tempatnya. Ia mengambil air mineral dan sebuah apel merah yang langsung digigitnya saat itu juga. Setelah menghabiskan apelnya dan menenggak habis minumannya, Niel bermaksud keluar dari kamarnya untuk mengisi perutnya dengan makanan yang lebih berat sebab seharian ini perutnya belum terisi nasi sedikitpun.
Niel membuka pintu, langkahnya terhenti ketika kakinya menabrak sesuatu. Ia mengambil benda itu dan  membaca sebuah pesan yang tertempel diatasnya,
“Dimana ada ada kegelapan disitu pasti ada cahaya. Namun bila salah satunya menghilang hanya akan ada kesepian”
Kak Niel aku pamit, maaf jika aku punya salah selama ini. Aku tidak berharap kau menerimaku sebagai adikmu tapi kumohon, berhentilah membenciku.
Dari; Cahaya.

            Mengetahui pesan itu ditulis oleh Aya, reflek pandangan mata Niel tertuju pada pintu di depannya dan langkahnyapun ikut terbawa kesana. Melupakan sejenak niat awalnya untuk menuju ke tempat lain. Setengah berlari, Niel sampai di depan pintu itu dalam waktu singkat dan iris hitamnya jelas melihat kunci yang masih tertancap dilubangnya. Ia meraih gagang itu lalu memutarnya kebawah. Pintu itu terbuka dengan mudah, berbeda saat terakhir kalinya ia mencoba membukanya. Dan aroma melatilah yang menyapanya pertama kali. Ia seperti kembali kemasa lalu. Kembali merindukan ibunya yang telah pergi. Tiba tiba Niel merasa matanya memanas, ada sesuatu yang mendesak untuk keluar namun tetap ia tahan. Ia beralih melihat benda di tangan kirinya dan lagi lagi mengingat kenangan indah tentang buku itu. airmatanya sudah tidak bisa ia bendung lagi.
            “Baguslah kalau dia memang sudah pergi. Aku tidak perlu repot repot menjauhinya lagi”. Niel menghapus airmatanya dengan asal kemudian menutup pintu kamar itu kembali. “Maafkan aku Bu, yang tidak bisa membalas semua kebaikanmu. tidak bisa menjadi kakak yang baik,” Niel berbalik dan menegakkan tubuhnya memandang lurus kedepan. Tangan lainnya ia masukkan kesaku celananya. “sebab aku memang bukan kakaknya”.
Setelah itu Niel melangkah pasti, kakinya semakin menjauh dan tak pernah ingin menoleh ke belakang lagi.
            # # #
Aya masih terduduk di salah satu bangku sebuah taman sambil memegangi sesuatu. pandangannya tak lepas menatap kotak kecil persegi panjang dengan pita merah diatasnya. Sesampainya ia di bandara tadi siang, supir keluarga Cho menyerahkan kotak itu padanya sambil berujar,
“Ini hadiah dari Tuan besar, terimalah sebagai kenang kenangan”
Dan sejak saat itu ia belum sempat membukanya. Aya mengalihkan pandangannya sesaat, mengamati cahaya warna warni dari setiap lampu taman yang berjajar disepanjang jalan. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuka kotak ‘misterius’ itu. Selembar kertas kecil berisi sebuah pesanlah yang pertama kali dilihatnya.
“Kau ingin bukti kan, inilah buktinya. Maaf telah berbohong, tapi kebohonganku membawa keberuntunganmu. Suatu hari kau harus membalasnya sebab aku telah menanggung banyak kerugian untuk itu”
Kemudian Aya beralih mengambil benda hitam panjang di dalamnya. Alisnya berkerut, mengamati Bolpoin yang beberapa saat yang lalu sangat menarik perhatiannya itu kini ada dalam genggamannya. Berlian hitamnya meneliti setiap inci sudut benda itu mencoba mencari bukti, seperti yang dikatakan tuan Cho dalam pesannya. Hingga akhirnya Aya baru menyadari bahwa ternyata Bolpoin itu adalah sebuah Spy camera.
# # #
Gelap masih mendominasi, nampak cahaya bulan dan bintang yang mulai meredup. Niel mengikat tali sepatunya, bersiap memulai aktivitas rutinnya di pagi hari. Ia sudah hampir menyelesaikan dua putaran namun mendadak berhenti di tengah jalan. Dengan napas yang masih naik turun, ia menoleh. Berharap ada seseorang di sana, sedang memperhatikannya. Dan benar saja, Ia melihat bayangan seorang gadis tengah diam diam memperhatikannya dari kejauhan. Niel tersenyum, tapi senyumannya lenyap seiring terpaan angin yang memudarkan bayangan gadis itu. sebenarnya yang ia lihat hanyalah udara kosong.
Niel menghela napasnya, mencoba menghilangkan bayangan gadis itu juga di pikirannya. Tentang seorang gadis berambut hitam berkilau yang sangat manis. Setiap gerakan tubuhnya saat berlari membuat rambut indahnya itu melambai lambai bagai ekor kuda. Kulit kuningnya bagai emas yang bersinar di kegelapan dan senyumannya mampu memukau siapapun yang melihatnya.
Niel mendesah. Bukannya menghilang tapi justru bayangan gadis itu menari nari di otaknya. Ia memutuskan meneruskan langkahnya namun saat menyadari kehadiran seseorang diantara pepohonan di pinggir jalan itu, Niel mengurungkan niatnya. Sosok itu begitu mencurigakan di matanya. Ia mencoba mendekat dengan hati hati tanpa menimbulkan suara yang dapat mengalihkan perhatiannya. Ia ingin mengetahui apa yang orang itu bicarakan dengan seseorang di ponselnya. Sepertinya sangat rahasia hingga ia harus bicara dengan suara pelan dan berada di tempat sesepi itu.
“Ya, gadis itu menghilang. Saya tidak menemukan namanya dalam semua daftar penerbangan kemarin”. Orang  misterius itu mengangguk setelah mendapat sahutan dari seberang teleponnya.
“Sepertinya begitu dan Tuan besar tidak mengatakan apapun tapi,,,”
Pria itu berhenti berucap lalu memandang keadaan sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dirinya disana. Niel menyembunyikan dirinya sedetik sebelum orang itu tepat memandang ke arah tempatnya bersembunyi.
Setelah merasa aman, pria itu melanjutkan kalimatnya. “,,,,Saya melihat dia menyerahkan sesuatu pada supir pribadinya dan supir itulah yang diperintahkan untuk mengantarkan gadis itu kemarin”
“Itu tidak mungkin. Tuan besar tidak akan bertindak sejauh itu” lanjutnya lagi menanggapi lawan bicaranya.
“Saya tidak tahu pasti. Tapi tuan besar memang pernah mengungkit tentang pembunuhan orang tua gadis itu. Jadi menurut saya, hanya ada 2 kemungkinan. Pertama, tuan besar menculiknya atau kemungkinan lainnya adalah gadis itu yang melarikan dirinya sendiri”
“Sedang saya selidiki. Ya, baik Boss. Akan saya laksanakan” ucap pria itu mematuhi perintah.
Klik!. Pria itu mematikan ponselnya lalu beranjak dari tempat itu menuju sebuah pintu, yang mungkin menjadi pintu rahasianya selama ini. Ia mengambil kunci dari saku jasnya dan kemudian masuk ke dalam rumah mewah nan megah itu tanpa tahu keberadaan seseorang yang telah menangkap basah gerak geriknya.
Sedangkan dibalik pohon besar berdaun rindang yang tidak jauh dari tempat itu, Niel memandang kepergian pria itu dengan senyuman sinis mengetahui siapa sebenarnya sosok misterius itu. terlihat jelas ketika lampu temaram yang berada di samping pintu itu menampilkan punggungnya.
“BRENGSEK!” gumam Niel sambil meninju pohon di sampingnya.
-
BRAKK!!
Seperti dejavu, suara debuman itu kembali terulang.
“Cepat katakan, apa kau tahu sesuatu tentang kecelakaan ibuku 20 tahun yang lalu!” teriak Niel memecahkan keheningan pagi itu. penampilannya tak berubah dengan yang dikenakannya saat fajar tadi. Kecuali dengan peluh keringat yang sudah membanjiri jaket hitam tanpa lengan yang dipakainya.
Tuan Cho yang baru saja menyelesaikan perbincangannya dengan seseorang di telepon sedikit tersentak. ia tidak pernah diteriaki sebelumnya, justru ia sendiri yang sering berbicara kasar dan membentak dan sekarang ia tahu bagaimana rasanya, walaupun kata kata pedasnya dulu hanya sekedar ucapan kosong tanpa emosi.
Ia menarik napasnya dalam dalam untuk mengatur ritme jantungnya yang sempat tak beraturan. Ia tidak ingin mati konyol dengan mendapat serangan jantung. Hidupnya telah sejauh ini dan ia masih ingin menjalaninya lebih lama lagi.
“Cepat jawab!!” teriak Niel lagi tanpa peduli apa yang dirasakan pria yang berstatus ayah kandungnya itu.
“Kecelakaan? Ibumu?” tanya tuan Cho mengulang perkataan Niel yang membuatnya sedikit bingung.
Niel tersadar lalu mengoreksi pertanyaannya. “Maksudku, ibu gadis itu dan juga,, keberadaan gadis itu sendiri,,” ketika mengucapkan gadis itu, entah kenapa jantungnya mendadak berdebar kencang.
Alis tuan Cho berkerut mengetahui arah pertanyaan Niel. “Sebenarnya kau ingin mengetahui tentang ibunya atau anaknya?” ucapnya datar memancing pemuda 28 tahun itu, ingin mengetahui sejauh mana kemampuan ‘kembaran’nya itu berspekulasi.
Niel menatap tajam pria didepannya. “Jangan berbelit belit, itu membuatku semakin muak denganmu”
Tuan Cho menghela napasnya, percuma saja mengulik sesuatu dari pemuda itu. ia sosok yang tidak suka berbasa basi. Diam diam tuan Cho tersenyum sambil beranjak menuju jendela disamping kirinya. Ia mengalihkan perhatiannya melihat pemandangan perkebunan bunga melati yang tersaji dibalik kaca besar itu daripada harus memandang kilatan ‘kegelapan’ milik Niel.
“Maaf, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Kau tidak perlu mengurus hal yang bukan urusanmu. Aku yang akan mengurusnya sendiri, kau tidak perlu ikut campur” katanya tanpa berniat mengubah posisinya. bukannya tidak ingin menjawab namun pria itu takut jika lidahnya belum mampu mengatakan kejujuran.
Niel mengeram, menahan kekesalannya. “Jika kau sampai terlibat suatu hal yang buruk dengan keduanya, aku tidak akan segan segan menghancurkanmu saat ini juga!”
“Karna itulah aku tidak ingin kau terlibat” ucap tuan Cho penuh penekanan. Tidak peduli dengan pemikiran Niel yang semakin mencurigainya.
“Kalian berdua memang sama brengseknya!” desis Niel menggertakkan gerahamnya.
Tuan Cho reflek menoleh, “Apa maksudmu?”
Niel tersenyum sinis, “Maksudku, sebentar lagi kau akan hancur. Kau akan mendapat karma atas semua perbuatan busukmu. Seorang pengkhianat dibalas dengan pengkhianatan, bukankah itu terdengar sangat bagus”. Tuan Cho semakin tidak mengerti. Niel tidak peduli, ia melangkah menuju pintu. Sia sia saja menghabiskan waktunya  di tempat itu.
“Tunggu!” Niel mendengar jelas panggilan itu namun tetap mengabaikannya. “Aku ingin kau menemui seseorang”. Niel berhenti tanpa berniat untuk memalingkan wajahnya.
“Siapa kau berani menyuruhku. Aku bukan pengkhianat itu yang bisa kau perintah sesuka hatimu”. Tuan Cho terkesiap, namun dengan sigap kembali menghentikan langkah Niel yang baru saja akan menjauh.
“Albert collin, temuilah orang itu. kau akan mengetahui semuanya darinya” mendengar nama itu, Niel kembali menghentikan gerak kakinya. “Dan kembalilah sebagai Daniel Hwang, Kaulah penerus keluarga Hwang selanjutnya. Lupakan semua tentang keluarga Cho dan juga lupakan nama Niel sebab kau harus hidup sebagai seorang Hwang. Jagalah ibumu dengan baik, dan juga lanjutkan kesuksesan perusahaan peninggalan kakekmu. Aku yakin kau pasti mampu untuk itu sebab akan ada banyak orang yang siap membantumu. Aku sudah mengurus semuanya, jadi kembalilah. Hanya itu yang bisa kulakukan untukmu”. Tuan cho menghampiri punggung Niel lalu mencengkram bahu kekar itu dengan tangan kanannya.
Niel tertegun sesaat merasakan cengkraman kuat itu. bukan rasa sakit, melainkan seperti sebuah beban yang sangat berat dialihkan semua ke pundaknya.
“Maafkan Ayah Niel. Aku memang tidak pernah pantas menjadi Ayahmu karna itulah aku menjauh dari kehidupan kalian berdua. jadi, anggap saja kalau aku tidak pernah ada di kehidupan kalian. Hiduplah dengan baik, Ayah percaya padamu”. tuan Cho menepuk nepuk bahu Niel, menggantikan pelukan perpisahan yang tidak akan mungkin terjadi diantara mereka. Lalu beranjak keluar dari ruangan itu meninggalkan Niel tanpa menolehkan wajahnya sedikitpun. Sebuah perpisahan tragis antara ayah dan anak. Entah kenapa, air mata Niel jatuh dengan sendirinya.
“Ayah” dan kata itu juga keluar dengan sendirinya.
Tuan Cho yang sudah keluar dari pintu, tiba tiba menoleh. Kedua matanya juga basah, namun ia tak juga berniat untuk kembali ke ruangan itu. ia tetap meneruskan langkahnya.
Tak lama berselang, seorang penjaga tergopoh menghampirinya membawa sebuah kabar. “Tuan Besar, akan ada tamu yang ingin menemui anda dari luar negeri. Katanya, dia sahabat lama anda”
“Benarkah, siapa?”
“Dia mengenalkan dirinya sebagai Bong cha. Mobilnya akan sampai Sebentar lagi”
Tuan Cho terbelalak, tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi setelah sekian tahun. “Lalu dimana sekretarisku?”
“Dia sedang dalam perjalanan bersama orang itu. dialah yang menyuruh mengabarkan berita ini pada Tuan”
Lagi lagi tuan Cho terbelalak!
# # #
Niel sampai di sebuah gedung bertingkat dengan ornamen klasik yang kental. Kini, penampilannya sudah berganti dengan sweater hitam lengan panjang dan celana jeans robek dibagian lututnya. Mata elangnya fokus mengamati setiap marmer yang dipijaknya satu persatu. Bukan karna kagum melainkan pikirannya masih terbayang tentang sosok yang dilihatnya saat keberangkatannya tadi pagi hingga menghiraukan sosok lain yang kini tengah memandangnya. Niel masuk ke dalam lift, masih dengan wajah yang menunduk tanpa memperhatikan sosok yang berpapasan dengannya keluar dari lift itu. Niel hanya dapat melihat sepasang sepatu berhak rendah warna putih yang dikenakannya sebab sepertinya orang itu belum berniat melangkahkan kakinya lebih jauh.
Merasa ada yang aneh, Niel tergelitik untuk melihat sosok itu lebih detil. Naluri seorang laki laki. Pandangannya perlahan naik keatas, dari sepatu beralih ke celana pallazo warna hitam dengan sabuk warna emas melingkari pinggangnya. Lebih ke atas lagi, semakin menyakinkannya bahwa sosok itu adalah seorang gadis. Ia memakai dalaman warna putih dan blazer warna merah. Dan tepat saat Niel akan memandang wajah gadis itu, pintu lift telah tertutup.
Sampai di lantai 3, pintu lift kembali terbuka. Niel keluar sambil memegangi dada kirinya. Napasnya tak beraturan, mengingat kembali sekilas wajah manis yang selalu menghantuinya seharian ini. sudut bibirnya tak sengaja mengulas senyum, namun segera ditepisnya dengan menggelengkan kepalanya. Niel melanjutkan arah tujuannya, ke sebuah pintu dengan ukiran harimau dan naga yang menjadi pintu satu satunya di lantai itu.
Sebenarnya ia sedikit kesal, ia bisa berada di tempat itu dengan mudah tanpa harus membuang tenaganya. Padahal ia sudah menyiapkan banyak energi untuk ‘permainan’nya kali ini dan sekarang harus terbuang percuma. Bagi Niel, hal seperti itu tidaklah menarik. Semuanya terlihat sudah diatur dengan rapi sebelumnya, persis seperti yang diucapkan seseorang beberapa saat yang lalu kepadanya.
“Aku sudah mengurus semuanya”
Niel mendesah ketika tubuhnya sampai di depan pintu itu. Dengan atau tanpa perintah, Niel memang berencana untuk menemui orang tersebut. Albert collin, Pengacara pribadi mendiang kakeknya. Salah satu orang yang menjadi kepercayaannya.
Niel merasa tak perlu mengetuk pintu itu, bukankah semuanya sudah diatur. Jika benar, berarti orang itu memang telah menunggu kedatangannya. Dan benar saja, Niel dapat membuka pintu itu dengan mudah. seseorang yang tengah duduk di depan meja ruangan tersebut reflek melirik ke arah pintu.
“Dan_ Dani” lirihnya.
Niel tak berniat menyahut, pandangannya langsung menuju titik retina hijau yang terhalang kaca mata bulat milik pria tua itu.
“Tidak salah lagi, kau pasti Daniel” tuan Collin bangkit, lalu berjalan pelan ke arah Niel. “Aku sudah menunggu sangat lama untuk bertemu denganmu, dan sekaranglah saatnya”. Pria itu langsung memeluk Niel dengan senyuman haru penuh kerinduan. Seperti seorang kakek yang telah lama menantikan kehadiran cucunya. Sedangkan Niel masih diam membeku, kecuali tatapan elangnya yang selalu bergerak mengikuti gerakan pria di depannya.
Tuan Collin melepaskan pelukannya lalu mengamati wajah Niel yang sangat tidak asing lagi baginya. Sambil tersenyum, pria berambut putih itu berujar.
“Dari lahir, kau memang sudah tampan”
“Jadi, apa yang mau anda sampaikan” akhirnya Niel angkat bicara.
Dari cara bicaranya, tuan Collin seperti sudah mengatahui orang seperti apa pemuda dihadapannya ini.
“Wajahmu mewarisi ayahmu, namun sikapmu sangat mirip dengan kakekmu. Tidak suka basa basi dan ingin langsung ke tujuan utama”. pria itu kembali duduk di kursi ‘antik’nya yang nyaman. “Duduklah nak, tanyakan saja apa yang ingin kau ketahui. Jangan suruh aku untuk mengulang masa lalu itu untuk kedua kalinya”
“Apa?” sahut Niel, menangkap sesuatu yang ganjal dari ucapan pria itu
“Aku sudah terlalu tua untuk banyak bicara. Usiaku sudah memasuki angka 80 jika kau ingin tahu. Jadi mendekatlah, aku akan menceritakan sesuatu padamu”. Tanpa membantah, Niel mematuhi perintah untuk duduk dihadapannya. Berbanding terbalik jika yang orang menyuruh itu adalah ayahnya. “Sepertinya kau pemuda yang patuh dan juga santun” lagi lagi, tuan Collin tersenyum. Niel memandangnya dengan wajah bingung.
“Dulu, aku mengenal seorang gadis remaja yang cantik. Namun sangat pendiam dan juga tertutup dengan dunia luar. Hingga suatu saat ia bertemu dengan seorang pria dewasa dan juga tampan”. Saat mengatakan kata ‘tampan’ tuan Collin melirik sekilas ke arah Niel yang masih memandangnya tanpa ekspresi. “Untuk pertama kalinya, gadis itu jatuh cinta”
Alis Niel berkerut, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya untuk menanyakan sesuatu. Tapi,
“Ya, gadis itu adalah ibumu”
Pertanyaannya telah terjawab.
“Tapi, cinta itu sulit untuk disatukan. Sebab ayahmu telah bahagia dengan keluarga kecilnya. Sebagai seorang ayah, kakekmu sangat ingin membahagiakan putrinya. Ia melakukan banyak cara, dari mulai yang paling halus hingga yang terdengar sangat menakutkan”
“Maksud anda, kakekku mengancam,,” Niel memejamkan matanya, lidahnya masih sangat sulit mengakui sosok seorang pria yang mempunyai andil besar dalam hidupnya. “,,,pria itu?”
“Sepertinya memang begitu” jawab tuan Collin memancing reaksi Niel
“Itu terdengar sangat konyol”
“Ya, jika kau tidak mengenal keduanya dengan baik”. Niel menatap tuan Collin dengan pandangan heran. “Menurutmu hidup itu apa dan manusia itu seperti apa?”. tuan Collin tak menunggu jawaban dari Niel sebab ia memang tak mengharapkan jawaban melainkan ‘pemahaman’. “Hidup itu penuh warna bahkan mungkin lebih banyak dari warna pelangi yang hanya punya 7 warna. Tapi, saat kau memasuki kehidupan itu kau hanya akan menemukan 2 warna saja, yakni hitam dan putih. Seperti halnya dalam diri manusia, ada sisi hitam dan sisi putih. Tidak mungkin seorang manusia hanya mempunyai satu sisi dalam hidupnya sebab manusia adalah abu abu”
“Kau tidak bisa mendoktrin setiap perbuatan manusia itu salah atau benar. Mungkin bagimu itu benar tapi dalam kondisi tertentu, bagi orang lain itu adalah sebuah kesalahan. Seperti perbuatan tuan Hwang terhadap ayahmu dan perbuatan Ayahmu terhadap kau dan ibumu. Juga, perbuatan Ibumu terhadap Chand dan Ibunya”. Niel terkejut ketika tuan Collin menyebut nama ibunya ke dalam daftar ‘hitam’.
“Bagaimana bisa anda menyalahkan Ibuku sementara andalah orang yang paling tahu keadaannya”
“Apa hanya karna ia terlahir berbeda jadi semua yang menjadi kehendaknya selalu dibenarkan?”. Niel terdiam. “Autisme itu bukan penyakit Niel dan bisa disembuhkan!”

Bersambung,,,,,








0 komentar:

Posting Komentar