Sampai
di Rumah Sakit, Chand segera dilarikan ke Ruang IGD. Niel dan Aya hanya mematung di depan ruang itu dengan
napas yang masih memburu. Aya menoleh kearah Niel, baju hitamnya terkena darah
walaupun tidak begitu terlihat. Niel waspada saat Aya mendekatinya, waspada
terhadap hatinya sendiri.
“Terima kasih” ucap Aya tulus. Niel
hanya diam, merasakan detak jantungnya yang mulai meningkat. Ia mulai panik dan
memutuskan untuk menjauh, ke tempat dimana gadis itu tidak bisa menemukannya.
Ia hanya belum siap dengan hatinya sebab saat melihat gadis itu ia seperti
melihat Ibunya. Ia takut jika pembalasan dendamnya yang ia rencanakan selama
ini akan hancur begitu saja. Memandang mata gadis itu lebih seperti mendengar
permohonan ibunya untuk menghentikan semuanya. Ia takut pertahanannya akan
goyah jika berada didekat gadis itu.
Saat kepergian Niel, dari arah
berlawanan sebuah mobil berhenti didepan ruang IGD. Jane, orang pertama yang
keluar dari mobil itu lalu diikuti Tuan dan Nyonya Cho yang setengah berlari
menghampiri Aya yang berdiri mematung sendirian.
“Dimana Chand?” pertanyaan Jane
menyadarkan Aya
“Di dalam. Dokter sedang melakukan
pertolongan”
“Lalu dimana Niel, aku tidak
melihatnya?”. Pertanyaan Nyonya Cho membuat Aya menelan ludah.
“Mungkin dia sedang menghirup udara
segar, dia kelihatan lelah” Akhirnya ia menemukan sebuah jawaban yang entah
benar atau tidak, tapi yang pasti ia tidak berbohong. Niel memang terlihat
sedikit, kelelahan.
10 menit kemudian seorang Dokter
keluar sambil memanggil keluarga pasien. Tuan Cho yang pertama menghampirinya.
Wajahnya terlihat khawatir.
“Keadaan pasien sangat buruk. Kami
sudah menghubungi Dokter spesialisnya agar beliau dapat menjelaskan keadaannya
lebih detail. Untuk sementara ini kami akan memindah pasien ke ruang ICCU. Kita
hanya bisa berdoa semoga pasien dapat melewati masa kritisnya” Dokter itu
kemudian undur diri.
Tuan Cho terduduk lemas, menutupi
wajahnya dengan kedua tangan. Pria angkuh itu seperti kehilangan taringnya jika
mengenai putranya. Nyonya Cho menggenggam erat tangan Jane untuk menguatkannya,
sembari menguatkan dirinya sendiri. Jane menangis, menyesal kenapa ia begitu
ceroboh hingga membiarkan Chand keluar kamar. Seharusnya saat ini pria itu
berbaring di tempat tidur setelah meminum obat, di kamar mereka yang luas.
Chand tidak perlu keluar kamar sebab semuanya telah tersedia disana dan seharusnya
dia tidak meninggalkannya,,,
“Bagaimana dokter?” Tuan Cho tidak
sabar mendengar penjelasan pria berjas putih yang baru saja keluar dari ruang
ICCU. Dokter itu menghela napas.
“Keadaannya memang memburuk,
kondisinya juga belum stabil jika dipaksa untuk operasi. Kita hanya bisa
menunggu, semoga kondisinya membaik sehingga operasi pengcangkokan sumsum
tulang belakangnya dapat segera dilakukan”
“Tidak bisakah operasinya dilakukan
saat ini juga?!” sambar Tuan Cho
“Tidak bisa Tuan, resiko infeksinya
akan semakin besar dan akan berakibat fatal”
“Tapi putraku sedang sekarat disana
dan kau tidak melakukan apapun!”
“Sebaiknya anda tenang dulu Tuan
Cho, emosi juga tidak akan menyelesaikan apapun!”. Detik itu juga seorang
perawat menghampiri Dokter David dan memberitahukan sesuatu. Dokter David
bergegas kembali ke ruang ICCU. Keluarga Cho semakin panik melihat situasi itu,
terutama Aya yang masih menunggu tanpa kepastian.
10 menit kemudian Dokter David baru
keluar. Seperti tergesa gesa dan memberi isyarat pada Tuan Cho untuk
mengikutinya. Jane tak kuasa menahan airmatanya, pikirannya berkecamuk memenuhi
otaknya. Ia memutuskan untuk melihat kondisi Chand dengan mata kepalanya
sendiri. Setelah memakai pakaian khusus ruangan itu, Jane menemui Chand dan
langsung menggenggam erat tangannya. Airmatanya semakin deras mengalir, menyaksikan Chand yang tak memberikan respon
apapun. Hanya suara alat pentedeksi detak jantung yang terdengar. Jane
melihatnya sekilas. Nampak angka yang semakin lama semakin menurun, ia berpikir
sejenak sebelum sebuah suara menepuk pundaknya.
“Kondisinya mulai membaik. Para
Dokter sedang bersiap jika sewaktu waktu akan ada operasi darurat. Berdoalah
Nyonya, semoga Tuhan mengabulkan doa anda” Perawat itu tersenyum membantu
menguatkan mental Jane sebelum kembali pada tugasnya mengawasi semua pasien
diruangan itu. Jane tersenyum lega, ada kilat bahagia dimatanya. Ia mencium
tangan suaminya sambil membisikkan sesuatu
“Bertahanlah sayang, aku
mencintaimu!”
10 menit berlalu, Tuan Cho keluar
dari ruangan Dokter dengan secercah harapan. Ia menghampiri istrinya dan Aya
yang sekarang duduk berdampingan.
“Apa Niel belum juga kembali?” pertanyaan itu membuat keduanya saling
berpandangan.
“Aku bahkan belum melihatnya dari tadi”
sahut Nyonya Cho. Aya reflek bangkit dari duduknya.
“Saya akan mencarinya diluar” Tuan dan Nyonya Cho mengangguk setuju. Aya
berjalan menuju pintu keluar rumah sakit itu. Disepanjang jalan, setiap orang
yang berpapasan dengannya pasti memperhatikannya sambil berbisik sesuatu. Aya
tak ambil pusing, ia tahu bajunya yang penuh bercak darah mengundang setiap
mata untuk memperhatikannya.
Sampai didepan pintu Aya berhenti, memperhatikan sosok hitam yang baru saja
berpapasan dengannya namun sama sekali tak melirik kearahnya.
“Mereka, mencarimu” mendengar seruan itu Niel berhenti, tanpa menoleh
kebelakang.
“Aku tahu” jawab Niel dingin lalu kembali meneruskan langkahnya.
Ya, Niel telah kembali setelah membangun kembali puing puing ambisinya yang
hampir rubuh. Bahkan kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Niel telah
memantapkan hatinya, untuk tidak berhenti sampai disini hanya karena seorang
gadis yang memiliki Cahaya dalam matanya. Dia hanya perlu menghindar,
menghindari Cahaya itu.
“Pangeran Kegelapan tidak akan pernah berhenti, walau Putri Cahaya telah
datang sekalipun!” batin Niel dalam hati.
# # #
Menjelang sore hari Aya dan Niel dalam perjalanan pulang ke rumah keluarga
Cho. Operasinya telah selesai dan Niel telah diperbolehkan pulang. Aya turut
menemaninya atas permintaan Nyonya cho, selain karna ia juga harus mengganti
pakaiannya. Tidak ada pembicaraan atau sekedar obrolan ringan dalam perjalanan
tersebut, keduanya hanya diam mengikuti pikirannya masing masing. Keadaan
berbalik, kini Aya yang sendirian duduk dijok belakang mengamati punggung hitam
milik Niel. Sesekali ia mengusir bosan dengan melihat pemandangan dari sisi
jendela, ingatannya kembali teringat dengan pembicaraannya dengan Nyonya Cho
saat operasinya tadi sedang berlangsung.
“Niel dan Chand adalah saudara seAyah. Aku tahu ini sangat mengejutkan
untukmu tapi inilah kenyataannya. Bahkan, untukku sendiri” Nyonya Cho menahan
sesak didadanya lalu menoleh pada Aya dan membelai rambutnya. “Tapi ini bukan
berarti, kau harus berburuk sangka pada ibumu. Jangan, jangan mengulang
kesalahan yang sama denganku. Dulu aku melakukannya, hanya karna bisikan orang
orang yang mencurigai kemiripan antara suamiku dan Niel. Bahkan pernah suatu kali, seorang temanku pernah
salah mengenali Niel sebagai putraku bukannya Chand. Ya, karna kesalahanku
itulah aku kehilangan sahabat terbaikku, yaitu Ibumu. Karna pikiran buruk itu
aku mulai membencinya dan kebencian itu semakin menjadi karna ibumu hanya diam
saat aku meminta kejelasan darinya. Ia hanya bisa menangis dan itu sudah cukup
untuk menjawab semuanya”. Nyonya Cho mencoba menahan isakannya.
“Hingga pada suatu hari, Niel mendorong tubuh Chand hingga sikunya
berdarah. Saat itulah aku diambang batas kesabaranku. Niel, bocah laki laki
yang polos itu menjadi korban kebohanku. Aku, aku membuangnya ke panti asuhan”.
Wanita bermata coklat kehijauan itu tak dapat lagi membendung tangisnya. “Karna
tindakanku itu, suamiku sangat marah dan itu membuat kecurigaanku semakin
benar. Saat aku bertanya apa kemarahannya disebabkan aku telah membuang putra
kandungnya, dia hanya diam. Kenapa mereka berdua membiarkanku dalam kebodohan
hanya karna sebuah kebisuan” lanjut Nyonya Cho mengakhiri kalimatnya sambil
menutupi wajahnya menahan isakan. Aya merangkulnya, mengusap usap punggungnya
seolah berkata ‘Sudahlah Nyonya, tidak apa apa. semua telah berlalu, yang harus
dilakukan adalah memperbaikinya’. Bukannya Ia merasa baik baik saja, Aya juga
menangis. Perasaannya berkecamuk, tentang Chand yang sakit, ibunya yang
memendam rahasia dan juga tentang Niel, yang selalu mengacuhkannya.
# # #
Sudah 2 hari ini Jane masih setia menunggui Chand yang masih koma pasca
operasi. Wajahnya terlihat lelah, mata birunya dihiasi lingkaran hitam walaupun
itu semua tak merubah sedikitpun aura kecantikannya.Tuan Cho tak tega
melihatnya hingga menyuruhnya pulang sebentar untuk beristirahat. Jane sedikit
keberatan dengan permintaan Ayah mertuanya walaupun akhirnya ia menyetujui
permintaan itu sebab Nyonya Cho juga membenarkan saran suaminya.
Tak berbeda jauh dengan Jane, Aya juga merasa lelah dengan sikap Niel.
Sudah berkali kali ia mengajak pria yang selalu memakai baju bewarna hitam itu
bicara, bahkan sekedar untuk menyahut panggilan Ayapun tidak. Pemilik mata
elang itu sama sekali tak memperdulikannya. Kehidupan pria itu sangat
misterius, lebih tepatnya saat ia menghabiskan waktu seharian dikamarnya yang
selalu tertutup. Sesekali keluar hanya untuk makan, itupun tidak tentu. Aya
lebih sering menghabiskan makanannya sendirian. Justru Aya selalu menjumpai
Niel saat jogging di pagi yang masih buta, saat semua orang di kota itu masih
terlelap. Bahkan saat Aya telah selesai olahraga paginya, Niel masih saja sibuk
membentuk otot tubuhnya. Mungkin untuk menyimpan banyak oksigen, pikir Aya. Ia
hanya bisa memandangnya dari jauh sambil tersenyum. memandangi seorang pria
tampan dengan tubuh yang atletis, Siapa yang tidak tergoda. Sebab menurut Aya,
percuma saja ia menghampirinya. Niel akan selalu menjauh, entah sampai kapan.
Aya telah menyelesaikan sarapannya, namun batang hidung Niel masih belum
terlihat. Aya hanya bisa menghela napas frustasi. Hari ini ia akan pergi ke
suatu tempat. selain mengusir kebosanannya, ia juga harus melanjutkan
petualangannya. Sampai di pelataran, ia melihat seorang perempuan turun dari
mobil. Wajah cantik itu akan menyihir siapapun yang melihatnya.
“Cahaya, kau mau kemana?” Sapa wajah cantik itu. Aya meringis heran, kenapa semua orang dirumah ini
selalu menyebut nama lengkapnya.
“Aku mau jalan jalan. Oh ya bagaimana dengan keadaan Kak Chand. Aku ingin
sekali menjenguknya tapi Nyonya Cho menyuruhku untuk menunggu setelah dia
sadar”
“Dia, belum ada perubahan”. Aya melihat jelas kesedihan itu.
“Tenang saja, Kak Chand pasti bangun. Mana mungkin dia tega melihat
istrinya yang cantik ini terus bersedih”. Aya mengatakannya sambil memegang
lengan kanan Jane untuk menghiburnya. Mau tidak mau Jane tersipu mendengarnya.
“Terima kasih. Oh ya kau mau diantar supir, maaf ya kami belum sempat mengajakmu
berkeliling”
“Ah, tidak apa apa, aku bisa naik taksi. Sudah ya aku pergi dulu” Aya
melambaikan tangannya. Jane membalas
lambaian itu.
“Dah. Hati hati”
Jane tersenyum melihat gadis muda nan ceria itu. Ia lalu masuk kedalam
rumah dan membersihkan dirinya. Setelah selesai, Jane duduk di meja makan untuk
sarapan. Sebenarnya ia tidak begitu berselera namun ia harus tetap sehat untuk
bisa selalu disisi suaminya. Saat seorang pelayan tengah menghidangkan makanan,
tiba tiba Jane mencium aroma yang khas. Bukan dari makanan diatas meja,
melainkan dari seorang pria yang duduk dihadapannya sambil tersenyum manis.
Aroma maskulin yang sangat kuat, hingga menggoda siapapaun untuk betah berlama
lama didekatnya.
“Anda ingin makan sesuatu Tuan?” tanya pelayan itu mengalihkan perhatian
Niel. Tatapan tajam itu cukup untuk meruntuhkan nyali siapapun. Pelayan itu
tergagap, merutuki dirinya sendiri jika harus mendapat amukan dari Niel untuk
yang kedua kalinya. Tapi nyatanya, Niel justru menanggapinya dengan sopan.
“Tentu saja, aku juga ingin makanan yang sama. Oh ya, bisa tolong ambilkan
buah juga”
“B_baik Tuan”. pelayan itu lalu pergi sambil mengelus elus dadanya,
menghembuskan napas lega
“Kau terlihat sangat berbeda hari ini” Jane membuka percakapan.
“Benarkah, kau juga sama” Jane tertawa, entah bagian mana dari omongan Niel
yang terdengar lucu. Niel ikut tersenyum.
“Apa aku terlihat lucu”
“Ya”
“Kalau begitu tertawalah sepuasnya sebab kau gadis beruntung yang bertemu
pria tampan dan lucu sepertiku” Jane semakin mengeraskan tawanya.
Sarapan untuk Niel telah datang lengkap dengan seranjang Buah buahan segar.
Persis seperti yang Niel inginkan. Melihat Jane tertawa, membuat pelayan itu
keheranan. Mungkinkah Pria dingin dihadapannya ini bisa mengatakan kata kata
manis bahkan melucu? Oh tidak mugkin, batin pelayan itu. jika Aya juga berada
disana, ia pasti akan berpikiran hal yang sama. Bahkan cemburu, cemburu sebab
Niel tidak pernah memperlakukannya seperti yang ia lakukan terhadap Jane.
Beruntung ia tidak melihat pemandangan itu, sebab ia sedang dalam perjalanan ke
suatu tempat yang jauh.
# # #
Aya mendongakkan wajahnya, mengamati sebuah papan besar yang bertuliskan
“Panti Asuhan”. Pandangannya teralihkan oleh suara anak anak yang sedang bermain.
aya ikut tesenyum bersama mereka sambil mencubit pipi setiap anak yang
berpapasan dengannya. Anak anak itu hanya membalasnya dengan tertawa. Akhirnya
ia memasuki bangunan itu, seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan ramah
dan mempersilahkannya duduk.
“Ada yang bisa saya bantu Nona?”
“Saya butuh informasi tentang seorang anak yang pernah tinggal disini,
namanya Niel” sahut Aya langsung pada pokok bahasan.
“Niel, apa maksud Nona adalah Daniel”
“Ya, bagaimana Anda dapat mengetahuinya dengan cepat tanpa harus membuka
buku”. Wanita itu tersenyum mendengar kicauan Aya.
“Sebab
Daniel adalah anak yang istimewa
Nona, walaupun dia sudah lama tidak tinggal disini tapi dia selalu menyempatkan
diri kemari dan dia juga sangat baik”
“Jika saya sering berkunjung kemari, apakah anda juga akan mengingat namaku
Nyonya?. Wanita itu menyernyitkan dahinya dan tersenyum.“Kenalkan nama saya
Cahaya, panggil saja Aya” lanjut Aya sambil mengulurkan tangannya.
“Panggil saja Nyonya Liu dan aku akan berusaha mengingat namamu” sahut
wanita itu sambil tersenyum menyambut uluran tangan Aya. Perkenalan singkat itu
sangat berkesan baginya, juga bagi Aya.
Setelah itu, Nyonya Liu mengajak Aya ke sebuah kamar yang dipenuhi Anak
anak yang sibuk membaca. Ada banyak rak buku disana dan pintu ruangan itu
bertuliskan ‘Perpustakaan’. Aya mengikuti Nyonya Liu duduk dilantai bersama
Anak anak itu.
“Kau lihat semua Buku buku disini, sebagian besar Niel yang membelinya”
manik Berlian Hitam itu reflek mengamati setiap Buku yang tersebar diruangan
itu. Kebanyakan adalah cerita dongeng.
“Dari kecil, Niel sangat menyukai cerita dongeng dan dia pernah bercerita
bahwa ia hanya punya satu buku cerita. Ibunya selalu membacakan buku cerita
yang sama setiap malam dan Niel tak pernah bosan mendengarnya. Suatu hari dia
pernah bilang padaku, jika suatu hari nanti ia punya uang. Ia akan membeli
semua buku yang ada dikota ini untuk dibacanya bersama teman temanya dan
sekarang keinginannya telah terkabul”. Aya tersenyum, tidak menyangka jika Niel
punya impian yang sangat mulia. Sekarang Aya tahu sisi lain dari Niel yang
mungkin tidak pernah diketahui orang lain. Walaupun sampai sekarang dia tidak
tahu alasan apa yang membuat Niel selalu menjauhinya.
“Dan kau juga melihat ruangan didepan sana” tunjuk Nyonya Liu, mengarahkan
telunjuknya ke pintu yang bertuliskan ‘Ruang Bermain’. “Niel yang punya ide
untuk menyediakan ruang itu, agar semua anak dapat berkumpul untuk bermain
bersama sama. Dia juga bercerita bahwa dia tidak pernah punya teman untuk
bermain, apalagi mainannya. Satu satunya temannya adalah ibunya”. Aya tertegun
mengingat apa yang diceritakan Chand padanya beberapa hari yang lalu, sebelum
pria bermata indah itu terbaring koma saat ini. Tiba tiba Aya menyadari
sesuatu, tentang ketakutan Chand terhadap Niel. Inikah alasan Niel yang
sesungguhnya, untuk memberi pelajaran terhadap Chand atas sikapnya dulu.
Aya menghembuskan napasnya untuk menenangkan pikirannya. Nyonya Liu
beranjak untuk membuatkannya minum, Aya mencegahnya karna takut merepotkan.
Nyonya Liu tersenyum sambil mengedipkan matanya pertanda tidak masalah. Aya
kembali mengamati buku buku didepannya dan ada satu Buku yang menarik
perhatiannya.
“Melati yang Bersinar” ucap Aya membaca judul Buku itu. Kemudian ia
membukanya, nampaklah gambar seorang perempuan yang menjadi tokoh utama dalam
cerita itu yang sukses membuat Aya tak berkedip melihatnya.
“Ibu!” teriaknya tak percaya. Ia lalu membolak balik Buku itu, mencari tahu
siapa pengarangnya. Akhirnya ia menemukannya.
“C. Sinensis” Aya mengerutkan keningnya, membaca nama asing yang tak dikenalnya.
Ia membuka lagi halaman kedua, diceritakan bahwa perempuan yang bernama Melati
itu tinggal didekat sebuah perkebunan Teh yang luas. Baru saja ia akan membalik
halaman selanjutnya, ponsel Aya berbunyi. Dari Nyonya Cho.
“Aya, Chand sudah sadar!” ucap Nyonya Cho dengan bibir bergetar.
Mengetahuinya, Aya tak henti hentinya mengucap syukur pada Tuhan.
“Apa kau sedang di rumah sekarang. Aku berusaha menghubungi Jane tapi
ponselnya tidak aktif”
“Kebetulan aku sedang diluar Tante. Tadi memang aku bertemu dengannya, atau
mungkin dia sedang tidur. Kalau begitu aku akan pulang sekarang untuk memberi
tahu kabar baik ini”
“Baguslah,, terima kasih banyak Aya”
“Sama sama Tante”. Aya memutus sambungan Teleponnya, lalu beranjak dari
duduknya. Nyonya Liu yang kembali sambil membawa minuman kaget melihat Aya yang
sepertinya tergesa gesa.
“Ada apa Aya?”
“Maaf Nyonya, saya ada urusan mendadak dan harus kembali”
“Baiklah tapi sebelum pergi, minumlah dahulu” Aya kembali ke posisinya lalu
menerima gelas beserta cangkirnya dari tangan Nyonya Liu dan menyeruputnya
perlahan, terus menerus hingga tanpa sisa.
“Terima kasih Nyonya” ucapnya sambil meletakkan cangkirnya diatas meja lalu
berpaling kearah Anak anak yang masih sibuk membaca. “Anak anak Kak Aya pulang
dulu ya. Maaf belum bisa menemani kalian bermain, besok Kakak akan datang lagi.
Dadah!” Aya melambaikan tangannya, walaupun belum mengenal Aya namun Anak anak
itu dengan semangat membalas lambaiaannya.
“Nyonya Liu yang baik hati, saya pamit ya” ucap Aya sambil mengulurkan tangan.
Nyonya Cho paham, iapun mengulurkan tangannya dan terkejut dengan perlakuan Aya
yang justru mencium tangan itu.
“Ini adat dari Negeri saya, semoga Nyonya terbiasa” Nyonya Liu tersenyum
mengerti. Aya membuka tasnya kemudian menyerahkan sesuatu ditangan wanita itu.
“Sedikit dari saya, semoga bermanfaat”. Nyonya Liu kembali terkejut kemudian
tersenyum senang, menyadari begitu baiknya gadis dihadapannya ini.
# # #
“Terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan demi Chand dan maaf , aku
sudah membentakmu dihari itu. Aku merasa bersalah”
“Tidak masalah, aku bahkan sudah lupa kau pernah memarahiku”
“Benarkah?”
“Hmm,,. Melihat senyummu saja dapat menghilangkan sebagian ingatanku”. Jane
tertegun, menatap mata tajam itu tak percaya. “Sudah 22 tahun aku meninggalkan
rumah ini, semua terasa sangat berbeda saat aku tidak menemukan ibuku lagi.
Tapi, aku menemukan seseorang yang selalu membuatku nyaman didekatnya.
Kedamaian yang sama, seperti bersama ibuku”
“Ibumu, kau pasti sangat merindukannya” sahut Jane.
“Orang itu adalah kau”
Jane tak berkutik. Dadanya tiba tiba sesak mendengar kalimat itu.
“Aku tahu kau terkejut” Niel mengalihkan perhatiannya dengan melempar
segenggam makanan ikan ke kolam. Semua ikan berebut, menimbulkan bunyi air yang
riuh. “Aku tidak keberatan jika Ibu meninggalkanku kembali ke Negerinya karna
aku masih bisa menemuinya kapanpun. Tapi nyatanya, dia justru kembali pada
Tuhan. Bagaimana caranya dia tahu kalau aku merindukannya. Aku, tidak bisa
menemuinya”
Jane melihat wajah sendu itu, untuk pertama kalinya. Wajah yang dingin itu
tiba tiba mencair mengingat Ibunya.
“Aku sangat kesepian” lanjut Niel. Jane tidak tega melihatnya.
“Apa yang bisa kulakukan untukmu” hibur Jane
“Peluk aku”
Jane terkejut. Haruskah ia menyanggupi permintaan konyol itu. Tapi bagi
Niel, hal konyol itu sangatlah berarti. Hatinya bimbang menentukan sikap. Apa
yang harus aku lakukan, gumam Jane dalam hati.
“Ku mohon, sekali saja. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak hidup
sendiri di dunia ini”
Jane luluh. Ia mendekatkan tubuhnya lalu memeluk pria malang itu.
Airmatanya meleleh, entah karna Niel atau justru karna rasa bersalahnya
terhadap Chand. Tidak semestinya ia melakukan hal bodoh ini disaat suaminya sedang
sakit. Jane sudah ingin melepas pelukannya, namun Niel masih menahannya.
Niel menajamkan pendengarannya, gendang telinganya menangkap suara derap
langkah kaki yang menuju kearahnya. Ia tersenyum licik.
“Aku merindukanmu. Tidak melihatmu 2 hari ini sangat membuatku tersiksa”
Niel mengucapnya dengan lantang dan menyakinkan. “Aku tidak menuntut apapun
darimu, aku hanya ingin selalu melihatmu. Itu saja” . akhirnya Niel melepaskan
pelukan itu. Jane menatapnya, dengan tatapan yang lagi lagi tak percaya. Niel
tersenyum menenangkannya, lalu menyentuh pipi Jane dengan sebelah tangannya. “Terima
kasih” ucapnya.
Niel bersorak dalam hatinya, mendengar langkah kaki yang menuju kearahnya
kini berbalik.
0 komentar:
Posting Komentar